SEJENGKAL KISAH ALUMNI UKPK
SEJENGKAL KISAH
UKPK NEWS- Hanya ucapan selamat dan terimakasih yang mampu diucapkan. Selamat karena telah menjadi seorang manusia yang bergelar, itu artinya memiliki ilmu yang akan terus dibagikan dan dipergunakan untuk hal-hal yang lebih baik lagi. Dan terimakasih karena sudah menjadi bagian dari UKPK-ku tercinta, itu artinya semua kisah yang tertulis dibawah ini akan menjadi salah satu sumber semangat bagi kami yang masih berjuang. Walaupun tulisan ini beredar cukup jauh dari hari ataupun tanggal saudara/i dinyatakan menyandang status baru, baik srajana, megister, ataupun doktor sekalipun.
Untuk pembaca, semoga bisa memetik hikmah atau pun pesan yang tersirat di dalam tulisan-tulisan di bawah ini. Kali ini, ada banyak kisah yang berhasil terpatri di dalam blog UKPK. Semoga bermanfaat.
Dan sekali lagi, terimakasih saudara/i-ku. Selamat berjuang kembali. Dari UKPK, untuk kita semua.
Oleh: Ainu Humairo.
ANAK PETANI JUGA BISA MENJADI SARJANA!
Ilham Wahyudi, laki-laki yang terlahir tepat pada tanggal 01 Agustus 1997 yang lalu. Laki-laki perkasa yang ditakdirkan lahir dari rahim seorang petani. Tumbuh dan berkembang di sekitar orang-orang awam tentang pedidikan, tetapi tidak pernah buta pada akhlak dan moral sebagai manusia. Takdir yang memilihnya untuk terlahir di dalam ligkungan orang awam dan keluarga petani, tidak membuyarkan tekatnya untuk menjadi manusia bergelar sarjana.
Yah, tekat sekuat baja ternyata sudah tersusun rapih di dalam dirinya. Memutuskan berhijrah dari kota Probolinggo yang terkenal dengan minuman pokak ataupun karapan sapi sebagai ciri khasnya, dan menempatkan kota suwar-suwir yaitu kota Jember sebagai tempat mengais ilmu. Bukan mudah untuk melangkahkan kaki meninggalkan kota tercintanya. Sejangkal saja kaki melangkah, maka semua harus ditaruhkan.
Masih teringat ketika sarjana muda ini bercerita pada penulis, bagaimana pandangan sekitar tentangnya yang memberanikan diri melangkah pergi meninggalkan kotanya.
“Sampean tahu sendiri yah dik, bagaimana pandangan orang awam terhadap pendidikan. Kata tetangga saya percuma berpendidikan kalau tidak ada sopan santun dan merasa “sok”, tapi saya tetap teguh pendirian untuk melanjutkan ke jenjang perkuliahan.” Cerita Ilham Wahyudi, kala penulis bertanya bagaimana perjuangan awalnya dalam meraih gelar sarjana, Jumat (03/12/2021).
Tidak hanya desas-desus tetangga yang menjadi rintangannya, biaya pendidikan pun menjadi persoalan yang patut untuk dipikirkan olehnya. Mulai dari biaya hidup, perkuliahan, sampai detik-detik terakhirnya yakni bimbingan skripsi di tengah COVID-19. Pasti pembaca bertanya, “kenapa tidak bimbingan online?” Sama, penulis awalnya juga berpikiran demikian. Namun setelah mendengar ceritanya, pertanyaan-pertanyaan itu rasanya tidak layak untuk ditanyakan.
“Kenapa saya tidak bimbingan online? Karena penyelesaian tugas akhir ini adalah tanggung jawab saya. Jadi, biar lebih jelas mengenai bimbingan, saya lebih baik bolak-balik Probolinggo-Jember biar semuanya jelas. Walaupun tidak terbaik dan sempat revisi sampai enam kali, yang terpenting saya sudah semaksimal mungkin mengerjakan tugas akhir saya,” jelas laki-laki yang pernah berkiprah di organisasi Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan tahun angkatan 2016 lalu, ketika pertanyaan mengapa tidak bimbingan online terlontarkan dari mulut penulis. Simpelnya, semangatnya untuk menyelesaikan tugas akhir dengan penuh tanggung jawab menjadi sebuah alasan tersembunyi di balik ceritanya itu.
Ada banyak hal yang menjadi rintangan untuk menggapai sebuah bintang. Setiap manusia pasti punya rintangannya masing-masing. Setiap manusia juga memiliki caranya sendiri untuk mengakhiri rintangan tersebut, dan memutuskan pulang dengan membawa bintang. Setiap manusia pun pasti memiliki motivasi untuk dirinya sendiri, ataupun untuk orang lain, seperti yang dikatakan sarjana muda ini.
“INGAT TUJUAN AWAL KE JEMBER/KULIAH. HARUS BETUL-BETUL SEMANGAT!” tegasnya, kemudian menutup percakapannya dengan penulis.
SARJANA JALUR BIDIKMISI
Jangan pernah ragu dengan keyakinan Tuhan-mu. Jangan mudah menyerah dengan keadaan karena semua hal bisa dicapai dengan perjuangan, niat, doa, dan keyakinan atas kehendak Tuhan. Mungkin itulah yang dipikirkan oleh Miftahul Ghufron yang tepat pada tanggal 02 Desember 2021 dilantik menjadi sarjana di Universitas Negeri KH. Achmad Siddiq.
Lahir dari seorang tukang jahit, tak pernah memusnahkan harapannya untuk menjadi seorang sarjana, walaupun sebelumnya sempat berpikiran untuk tidak melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Anak sulung yang tidak menginginkan gelar sarjana dan ingin melanjutkan kehidupan dengan bekerja, ternyata terperangkap dalam sebuah penjara ilmu di kota Jember. Tidak ada niat untuk berkuliah, namun atas restu orang tua yang memintanya untuk melanjutakan berkuliah juga restu dari Kiayai nya di pesantren, membuatnya harus melanjutkan pendidikan di bangku perkuliahan.
“Saya dulu tidak mau kuliah dik. Saya maunya kerja di Bali, karena ayah saya kan seorang penjahit, ibu seorang ibu rumah tangga. Jadinya saya tidak mau membebani gitu. Tapi sama orang tua disuruh kuliah,” kata Gufron ketika diwawancarai oleh tim Jurnalistik Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) UIN KHAS Jember, Jumat (03/12/2021).
Namun ternyata, takdir berkata lain. Biaya kuliah yang sebelumnya menjadi pusat pikirannya, dihancurkan oleh kenyataan. Miftahul Gufron membangun pertemanan dengan seluruh alumni dari pesantrennya, yaitu pesantren Bata-Bata Madura, kemudian mendapat arahan untuk mengikuti beasiswa BIDIKMISI. Selain arahan teman-teman alumni pondok pesantrennya dulu, Miftahul Gufron juga mendapatkan arahan dari kakak-kakak tingkatnya yang ada di organisasi Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan.
“Dulu saya tidak punya laptop, akhirnya saya pergi ke rental komputer. Saya mengajukan dua berkas, berkas yang satunya untuk banding UKT dan satunya lagi untuk beasiswa bidikmisi. Untuk biaya ke rental itu, saya dapat dari saya tugas di pesantren. Dulu mengabdi di pesantren digaji. Intinya biaya untuk bayar meminjam laptop dan membayar UKT yang pertama, saya dapat dari hasil saya mengabdi/tugas di pondok dulu. Untuk tes BIDIKMISI, ketika saya lolos berkas, saya langsung pulang untuk meminta restu dan mempersiapkan semuanya. Baca kitab saya kurang lancar dik, jadi saya ikut UKPK ini, dan ketika RABA (Rekrutmen Anggota Baru), baru turun dari bus saya dikabarin oleh ketua umum yaitu Cak Johan, bahwa saya lolos. Saya lolos di urutan 104 dari 110 peserta beasiswa. Akhirnya saya memutuskan untuk lanjut kuliah. Biaya kuliah tidak ada beban untuk orang tua,” jelasnya dengan wajah yang sumringah menceritakan perjuangannya di masa lalu untuk mendapatkan beasiswa.
Dibalik ceritanya itu, Miftahul Gufron seorang sarjana muda jalur BIDIKMISI yang mengakhiri perkuliahan dengan IPK 3.79 itu menyiratkan sedikit pesan untuk pembaca.
“Kuliah harus semangat, dan jangan mengecewakan orangtua apalagi sudah di tengah perjalanan. Harus semangat, coba lihat di bawah kita, kadang ada yang ingin kuliah tapi tidak ada biaya, b egitupu sebaliknya.”
RIFANDI, PEJUANG BIMBINGAN SKRIPSI ONLINE
Banyak hal yang berubah ketika pandemi Covid-19, mulai dari sekolah dari rumah, sampai beberapa hal yang harus ditempuh mahasiswa secara online pula, yakni bimbingan skripsi online ataupun wisuda online. Seperti yang dialami oleh Rifandi Dwi Agustin, mahasiswa Perbankan Syariah Universitas KH. Achmad Siddiq saat berjuang menyelesaikan tugas akhir di tengah pandemi beberapa bulan yang lalu. Sebelum beranjak pada penyelesaian tugas akhir, serangkain kegiatan online harus ia tempuh, seperti KKN sampai PPL.
“Ketika kuliah sudah memasuki semster 6, ada berita tentang Covid dan semuanya serba online. Di sana saya merasa kurang nyaman dengan ini, sampai pengajuan judul skripsi pun harus online,” tutur Rifandi menyayangkan kondisi yang tidak bisa mendukung rencananya untuk turun lapangan.
Rifandi tidak hanya menyayangkan keadaan yang membuatnya tidak bisa turun langsung ke lapangan, ia juga merasakan bagaimana perjuangan menyelesaikan tugas akhir dengan cara bimbingan online. Salah satu hal yang harus ia hadapi adalah, lambatnya respon dosen pembimbing menjadi kendala baginya dalam menyelesaikan skripsi.
“Harus menunggu antrian, kadang sampai 3 hari harus menunggu untuk dikoreksi. Kalau offline, langsung selesai,” jelas sarjana muda yang dulu pernah berkiprah di organisasi Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan UIN KHAS Jember ini.
Memang tidak mudah menyelesaikan tugas akhir dengan bimbingan online. Tidak hanya terjebak dalam respon dosen pembibing yang lambat, ia juga terjebak dalam dunia revisi. Ia harus merevisi beberapa kali tugas akhirnya. Hal itu disebabkan kurangnya ketelitian, dan mungkin juga karena bimbingan online, sehingga dosen pembimbing tidak bisa leluasa menjelaskan dengan detail mana part bagian skripsi yang salah dan harus diperbaiki. Namun hal tersebut tidak membuatnya menyerah, skripsinya berhasil diselesaikan dan di ACC bulan Agustus.
“Karena ketidak telitian saya, skripsi saya dipenuhi dengan revisi, sekitar 7 kali revisi. Pada akhirnya bulan Agustus tahun 2021 skripsi saya di ACC dan pada bulan September saya sidang skripsi dengan hasil yang alhamdulillah memuaskan, meski saya harus banyak belajar dan belajar lagi,” ungkapnya.
Mungkin tidak hanya Rifandi yang merasakan hal demikian. Dan tidak hanya Rifandi yang berjuang menyelesaikan tugas akhir dengan bimbingan online. Hampir seluruh mahasiswa merasakan itu. Namun, tidak semua mahasiswa memiliki semangat yang sama. Dari kisah seorang Rifandi, kita dapat meniru semangatnya dalam menyelesaikan proses kehidupan. Seperti pesan yang tersematkan di akhir pembicaraannya dengan penulis.
“Semangat menuntut ilmu seperti apa yang diajarkan Rasulullah, nikmati prosesnya, insyaAllah hasil terbaik akan didapat.”
KETERBATASAN MENJADI CAMBUK UNTUK RAIH PRESTASI
Menyandang gelar sarjana, magister, bahkan doktor adalah impian besar bagi kebanyakan orang. Salah satu dari sebagian besar orang yang menginginkan gelar tersebut adalah Kurniawan Ramadhani, yang berhasil meraih gelar pascasarja, asal Probolinggo, yang terlahir tepat pada tanggal 07 Fabruari 1996.
Kurniawan Ramadhani merupakan salah satu dari sekian banyak mahasiswa Universitas Islam Negeri Kiayi Haji Achmad Siddiq Jember yang berhasil menyandang gelar magister. Dari sekian banyak mahasiswa UIN KHAS Jember, mungkin pula hanya Kurniawan Ramadhani yang memiliki kondisi yang berbeda, yakni keterbatasan dalam berbicara. Namun tekatnya untuk terus mengejar mimpi bisa dibilang lebih tangguh dibandingkan dengan penulis yang sedang menulis kisahnya saat ini. Tentu saja ketangguhannya tidak luput dari orang-orang yang menjadi cambuk semangat dalam hidupnya. Salah satu orang yang mampu menjadi cambuk semangat dalam hidupnya adalah Dr. Moh Khotib.
“Beliau (Bapak Khotib) sangat memotivasi saya, beliau mengatakan “Kurniawan, semangat yah. Meskipun kamu punya kelemahan, jangan menjadi orang lain. Jadilah Kurniawan sendiri, kembangkan ilmu yang kamu punya meskipun bukan di bidang akademisi yaitu kita bisa berkreasi di bidang non akademik,” kata Kurniawan saat ditemui oleh tim Jurnalistik Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) UIN KHAS Jember, Jumat (03/12/2021).
Dengan kelemahan yang dimiliki, lantas tidak membuat nyalinya mengejar mimpi menjadi ciut. Justru sebaliknya, Kurniawan Ramadhani ingin membuktikan bahwa orang yang memiliki kelemahan juga bisa berprestasi. Cukup banyak prestasi yang pernah dicapai melalui organisasi-organisasi yang diikutinya, mulai dari Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan, Muhibul Mustofa (Hadrah) dan lain sebagainya. Sebagian besar prestasinya berangkat dari organisasi hadrah/Al-Banjari yang ada di kampus.
“Bersama Muhibul Mustofa, saya juga pernah meraih beberapa kejuaraan solawat banjari, yaitu juara 2 solawat di Gumuk Mas Jember, juara 3 se-kabupaten Lumajang, juara harapan 1 Fesban di lumajang, juara 1 Fesban Ambulu, dan masih banyak lagi,” jelas Kurniawan.
Banyak hal yang dapat kita jadikan sebagai cambuk semangat, salah satunya mungkin dari kisah seorang Kurniawan Ramadhani ini. Namun, semua tergantung bagaimana cara seseorang memandang keadaan. Kurniawan memandang kekurangan sebagai kekuatan dan kelebihan. Bahkan, Kurniawan juga sempat memberi pesan diakhir percakapannya dengan tim jurnalistik UKPK UIN KHAS Jember, guna dijadikan motivasi dalam meraih prestasi.
“Jangan memandang siapa yang berbicara, tapi lihatlah apa yang disampaikan oleh yang berbicara,” pesan Kurniawan Ramadhani.
Dianidza, Gadis Pejuang Asa
Oleh: Dianidza Arodha
Dianidza Arodha, seorang anak gadis yang lahir di sebuah desa dekat pesisir pantai selatan, Kabupaten Jember. Ia tumbuh di keluarga yang cukup sederhana. Ayahnya seorang teknisi, wiraswasta, dan ibunya pedagang kecil.
26 Maret 1996, ia lahir menjadi gadis yang memiliki semangat dan mimpi yang tinggi. Bagaimana tidak? Kehidupannya bisa dibilang keras. Sejak sekolah dasar, ia sudah ditempa sedemikian rupa oleh kedua orang tuanya. Belajar berjam-jam tanpa guru les; tidak boleh menonton televisi; waktu bermain dibatasi; wajib mengaji, semua kegiatannya diatur. Sempat ‘memberontak’ tentang pendidikan orangtuanya, mengapa ia diperlakukan berbeda? Tidak sama dengan perlakuan orang tua teman-teman sebayanya yang lain?
Namun siapa sangka, ternyata dengan dididiknya seperti itu, ia terbiasa dengan tekanan yang membentuk karakternya. Hal itu terbukti dengan selalu diraihnya peringkat satu di kelas, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, pun juga selalu dilibatkan dalam olimpiade antarsekolah.
Pendidikannya dilanjutkan ke Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri Jember, waktu itu masih STAIN Jember. Empat tahun ia tempuh dengan sangat baik. Selama menjadi mahasiswa S1, ia merupakan salah satu penerima beasiswa Bank Indonesia, aktif berorganisasi, aktif menulis, juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan Internasional.
Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan (UKPK) IAIN Jember menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pertama yang ia ikuti. Setelah setahun bergabung, ia diberi tanggung jawab menjadi Sekretaris Umum UKPN IAIN Jember, dan di waktu yang bersamaan pula, ia juga menjabat sebagai Sekretaris Umum Komunitas Penerima Beasiswa Bank Indonesia Jember (GenBI Jember).
Selain aktif di organisasi tersebut, Dianidza aktif menulis dan mengikuti konferensi internasional. Beberapa penelitian-penelitian yang ia tulis, telah diterbitkan di jurnal-jurnal nasional dan internasional; e-proceeding; maupun book chapter. Hingga selesai masa studi S1nya, ia dikukuhkan sebagai lulusan terbaik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam di IAIN Jember pada tahun 2018.
Tidak terhenti disitu, Dianidza melanjutkan pendidikan magisternya di UIN Khas Jember. Ia masih aktif menulis dan mengikuti konferensi internasional. Kebiasaannya yang aktif membuat dirinya terus mengabdikan dirinya kepada masyarakat, menyempatkan diri menjadi seorang pengajar di sebuah pondok pesantren di Jember.
Gelar dan pendidikan magister ia tempuh dalam kurun waktu dua tahun dengan judul tesis “Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Jumlah Uang Beredar, dan Inflasi terhadap Jumlah Dana Zakat Serta Dampaknya ke Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 2010-2019” dan menjadi wisudawan terbaik Pascasarjana UIN Khas Jember pada wisuda ke-25, 2 Desember 2021 kemarin.
Masya Allah tabarakallah 🥰❤️
UKPK Jaya !!!