CerpenRubrik

Allah is Number One

Oleh: Dyah Kartika Kusuma (Warga ’16)

 

Tak terasa sudah setahun sudah aku melawan penyakit kanker, berbulan-bulan aku menjalani chemotherapy, dan berkali-kali melakukan cuci darah. Terkadang aku mendengar Ibu dan Ayah mengeluh dengan perawatanku yang sangat mahal, sampai-sampai Ayah menggadaikan komputer dan alat kerjanya untuk membiayai perawatanku.

Aku baru saja lulus SMA setahun yang lalu. Sengaja memang aku tidak melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi maupun bekerja. Sebetulnya aku mendapat tawaran beasiswa tahfidz untuk kuliah di Perguruan Tinggi bergengsi di Jakarta, karena Alhamdulillah aku sudah hafal 30 jus Al-Qur’an. Namun aku tidak mengambil beasiswa tersebut, sebab, Ayah dan Ibu melarangku untuk kuliah karena khawatir akan kesehatanku. Walaupun aku tidak kuliah ataupun bekerja, aku sehari-harinya mengajarkan anak-anak belajar mengaji di masjid depan rumah dengan berbekal ilmu mengaji yang diajarkan oleh guru pada waktu sekolah dahulu. Aku dipercaya menjadi ustadzah di masjid depan rumah karena pengurus masjid tahu jika aku dahulunya banyak meraih juara pada ajang-ajang lomba Islami, seperti Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ), lomba debat bahasa Arab, dan masih banyak lagi.
Di suatu pagi, aku duduk bersama Ibu dan Ayah di teras rumah sambil menikmati singkong rebus rasa mentega kesukaan ku. Dengan mengobrol santai, aku teringat akan keluhan Ibu dan Ayah. Aku pun memberanikan diri untuk berbicara kepada Ibu dan Ayah, “Ibu, Ayah maafkan aku yang telah membuat ibu dan ayah letih akan pengobatanku yang telah menghabiskan banyak biaya sampai-sampai ayah rela untuk menggadaikan komputer dan alat kantor yang ayah punya”, serasa aku meneteskan air mata. Ibu pun merangkul aku seolah-olah membungkam mulutku karena tak kuasai mendengar tangisan yang keluar dari bibirku. “Anakku, bagi Ibu dan Ayah kau adalah permata berharga bagi, kami tak mengeluh sedikitpun tentang keadaanmu, kami selalu berdoa untuk kesembuhanmu, sayang, tak usah pikirkan harta benda kita, karena itu hanya titipan. semoga kau lekas sembuh ya nak” Jawab ibu kepadaku dengan melempar senyum manis. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore dan waktunya untuk aku mengajar ngaji di masjid.

Seperti biasa aku mengawali mengajar mengaji dengan membaca doa dua kalimat syahadat dan Al-Fatihah. Aku mengajar jilid 5 dan 6. Canda tawa riang dari murid-murid ku seolah membuat semangat baru untuk ku dalam menghadapi sakit ini. Terkadang ada juga yang usil, memanggil ku dengan sebutan “dzachan” maksutnya ustadzah cantik, hehe. Ditengah-tengah jam mengajar, tiba-tiba kepala ku mendadak terasa sakit sekali. Namun demi anak-anak didikku, aku bertahan untuk tetap bersikap biasa tanpa ada yang ditahan. Sampai waktu pulang pun tiba, dan aku bergegas untuk meninggalkan masjid dan langsung pulang ke rumah.

Setiba di rumah, aku pun langsung berbaring di kasur dan bergulung-gulung menahan rasa sakit. Ibu yang melihatku langsung menelpon pihak rumah sakit, tempat yang biasanya aku melakukan chemotheraphy. Dengan histeris Ibu menangisi dan meneriakkan kepadaku “kamu harus kuat sayang”. Tidak lama kemudian ambulan pun datang untuk menjemputku menuju rumah sakit. Sekitar 15 menit sampailah aku di rumah sakit dan langsung dilakukan penanganan di ruang UGD.

Ketika penanganan dilakukan, aku tidak sadarkan diri, dan koma. Dokter yang pada saat itu menangani ku, memberitahukan Ibu dan Ayah tentang keadaan diriku, bahwa dokter memvonis bahwa aku sudah memasuki kanker stadium 4. Seketika itu, Ibu langsung menangis sejadi-jadinya dan pingsan. Sudah tiga hari aku tak sadarkan diri. Ibu dan Ayah semakin khawatir dengan keadaanku. Mereka pun menelpon salah satu temen mengajar di masjid. Ia adalah ustadzah Izza. Ia sudah seperti saudara ku sendiri. Ibu menyuruh Izza untuk membacakan Al-Qur’an dan menyuruh membawa serta anak-anak didik ku yang memang sudah sangat kangen sekali dengan ku untuk datang ke rumah sakit. Tidak lama kemudian Izza pun datang dan membawa 10 anak-anak TPQ untuk mendoakanku yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Ketika Izza dan anak-anak datang, mereka menangis melihat keadaanku yang telah menancap berbagai macam alat pengobatan rumah sakit, seakan tak kuasa melihatku lemah tak berdaya. Izzah pun memulai dan menyuruh anak-anak untuk ikut serta membacakan ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika Izzah dan anak-anak yang lain membacakan ayat Al-Qur’an, ada salah satu anak didikku yang bernama taufiq mendekati ku dan membisikkan do’a di telingaku seraya berkata “ustadzah bangunlah, aku yakin Allah pasti akan menolong ustadzah, karena ustadzah sudah memperjuangkan agama Allah, ustadzah rela mengajar kami dengan keadaan ustadzah yang melawan sakit” . sehingga meneteslah air matanya di pipiku. Dengan keikhlasan do’a yang dipanjatkan dari murid ku, keajaibanpun datang menghampiriku. Ibu melihat jari-jemari tanganku bergerak, dan perlahan-lahan aku membuka mataku. Semua yang ada di sekitarku menangis gembira, dan Ibu langsung memanggil dokter untuk memeriksa keadaanku.

“Subhanallah, AllahuAkbar, sungguh luar biasa, tak disangka, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa anak Ibu sehat. Siapa yang bisa menyembuhkannya ?” tanya sang dokter kepada Ibu. “hanya Allah yang bisa menyembuhkan anak saya, lewat perantara murid-muridnya dan teman yang senantiasa ikhlas untuk mendoakan anak saya” jawab Ibu. Setelah 2 hari aku dipindahkan ke ruangan biasa, dokter pun membolehkan aku untuk pulang, betapa bahagianya aku bisa kembali mengajar murid-murid dan bercanda tawa dengan mereka.

“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya DIA akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.. (Q.S Muhammad [47] : 7)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *