Menggalakkan Wicara Mushaf Usmani Dari Kebisuan: Tanazzul Wahyu Moderasi Beragama Menurut Tafsiran Aksin Wijaya”
Oleh: Abu Khaer
Buka Kelir
Saya diminta untuk menjadi salah satu pembedah buku Fenomena BerIslam: Genealogi dan Orientasi Berislam Menurut al-Qur’an, Penulisnya tertera Prof. Dr. Aksin Wijaya, tanpa Master, Sarjana Hukum, dan Sarjana Hukum Islam. Acara ini diselenggarakan oleh Temu Ilmiah UKM Penalaran dan Penelitian se-Jawa Timur (TIUPPS) ke-XVII dengan tema “Moderasi Sosio-Religius Sebagai Panggung Generasi Millenial Melestarikan Ideologi Bangsa.” Meminjam bahasa Aksin, oleh Kawan Shelly dari Unit Kegiatan Pengembangan Keilmuan/UKPK-UIN Kyai Haji Achmad Siddiq, pada hari Minggu, 8 Mei 2022, Pukul 8.30 WIB, Pukul 19.00 s/d 21.00 WIB, via WA meminta kesediaan menjadi Pembedah Buku, untuk Hari Sabtu, tanggal 28 Mei 2022,. Berbeda tengat waktu, dengan moment ketika kali pertama ‘diminta’ untuk jadi narasumber di salah-satu “Majlas”, yang konon awalnya dipelopori oleh Gus Aab dan Aksin ini, Bulan Ramadhan Kemarin. Divisi Keilmuan UPKP-UIN Khas JembAr, –enggan menulis Jember untuk meneladani Mbah Yai Achmad Shiddiq,– pada ajang Tadarrus Ilmiah virtual ‘menodong’ dengan tema “Sisi Lain Dari Islam; Telaah Pemikiran Suprarasionalitas Agama Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi Di Era Disrupsi,” hanya dalam waktu 1×24 Jam. Kali ini, Alhamdulillah menyisakan banyak ruang untuk bernafas sekitar 20 hari, meski buku sumber utama, baru diberikan utusan Panitia tanggal 22 Mei 2022.
Permintaan itu sulit saya tolak, karena asa-cita ingin meneladani Gusti Awloh dan Kanjeng Nabi Sayyidina Muhammad ShollAwlohu ‘alaihi wa alihi wa sallama dengan berbagi atas sesama, walau se-atom debu. Sulit diterima, karena penulis tidak kenal dan tidak tahu sama sekali dengan Pak Aksin Wijaya, termasuk karya-karyanya. Padahal, setidaknya, untuk membedah buku, sekurang-kurangnya menyaratkan dan menyiratkan telah memiliki pra-pemahaman dengan pemikiran dan karya-karya tokoh yang dikaji. Bismillah, penulis beranikan diri menerima tawaran itu, karena di samping kelemahan, ketidaktahuan itu juga merupakan nilai plus, sebagai landasan bahwa keobyektifan kajian menjadi lebih optimal dan apa adanya disampaikan tanpa beban. Pembedahan buku ini, mengingatkan kembali memori pengalaman penulis ketika masih sekolah di Ciputat, dulu. Untuk menambah uang jajan, penulis tiap minggu pergi ke berbagai toko buku, untuk melihat-lihat buku baru, kemudian me-riview-nya dan mengirimkannya ke berbagai media massa harian surat kabar. Ghalin-nya, tiap hari Sabtu atau Minggu beberapa koran memuat kolom resensi. Jika berhasil dimuat, imbalan pendapatan dari surat kabar harian dan dari penerbit didapat. Jika belum berhasil, maka minimal sudah berpendapatan dengan ilmu dari buku yang dibaca, pun, pendapat sudah diusahakan. Berdasarkan itu, penulis siap untuk membedah buku.
Pembedahan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata bedah dengan pengertian “pengobatan penyakit dengan jalan memotong (mengiris dan sebagainya) bagian tubuh yang sakit; operasi.” Sedangkan untuk rangkaian “bedah buku,” kamus yang dijadikan pedoman dalam berbahasa Indonesia itu mendefinisikannya dengan arti “pembicaraan dan diskusi mengenai isi buku.” Penulis, merujuk pada dua pengertian etimologi tersebut. Ini penting untuk dikemukakan, agar terjadi kesepemahaman bersama dan menghindari debat-kusir ketika membicarakan dan mendiskusikan bedah buku ini. Bedah dalam pengertian pertama digunakan karena alasan keterbatasan ruang-waktu. Selain itu, karena tuntunan acara ini, mau tak mau, maka pemotongan keragaman khasanah isi buku merupakan hal yang tidak bisa dihindari untuk merangkumnya. Bedah dalam pengertiian yang disebutkan terakhir, menutupi kelemahan cara pertama, dengan “pembicaraan dan diskusi mengenai isi buku.” Diskusi dalam beragam bentuk fenomenanya, menghendaki rekan, kawan atau lawan wacana (hal: . Bersama kawan diskusi, pelangi khasanah buku akan lebih tercakrawala mempelangi secara meluas. Dengan kata lain, bedah buku bukan hanya menjadi tanggung jawab pembedah, segenap patner yang terlibat juga memilkul tanggung jawab masing-masing untuk semakin menjelaskan isi buku. Fakta itu diperkuat dengan fenomena bedah-buku oleh panitia UKPK UIN Khas JembAr, dengan menghadirkan pembanding dan penulis, terutama para pencari ilmu untuk membedah buku Pak Aksin.
Kajian yang dipaparkan secara ringkas dalam tulisan ini adalah “proses menjadi” buku Fenomena Berislam, yang merupakan cerminan dari dinamika pemikiran seorang santri bernama Aksin Wijaya, untuk kemudian dikukuhkan menjadi Guru Besar dalam kajian Tafsir. Buku ini tidak asal-asalan jadi dan diketengahkan di pasaran intelektual (hal: 19). Buku ini juga mencerminkan bagaimana ketekunan Wijaya mengasah pikir dengan menimba segala macam ilmu, baik Ilahiah maupun ilmiah.
Di samping itu, juga tentang perjuangan Wijaya mendisiplinkan diri menyemerlangkan lahir-batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujāhadah. Juga tentang kesabaran Achmad dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman yang terhayati. Semaksimal mungkin, dalam tulisan ini menghindari, untuk enggan mengatakan anti, pembahasan yang cenderung ‘puja-puji,’ ‘kultus individu’ maupun sulit mampu untuk diteladani ketika mengkaji profil seorang tokoh. Anak dari Bapak Suja’i melalui buku kompilasi artikel jurnalnya ini, tidak berlebihan, jika disebut, meminjam istilah mbah yai Mustofa Bisri, sebagai cendekiawan, intelektual, kyai, ulama, yang mutabaḥḥīr, sosok yang luas dan dalam cakrawala keilmuannya. Pak Wijaya bukanlah sosok “Professor Tiban,” apalagi “Kyai Tiban.” Mufassir Tiban, Professor Tiban, atau kyai Tiban, menurut A. Mustofa Bisri, kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Pak Aksin tidaklah demikian, ia dianggap ilmuwan, cendekiawan, dan orang shaleh secara ‘muttafaq alaih,’ oleh berbagai kalangan, baik dari para akademisi, birokrat, cendekiawan, ulama, dan rakyat Indonesia hingga dunia internasional. Oleh karenanya, agar tidak kagetan, setidaknya sebagai seorang guru, Wijaya bukan sosok makhluk di menara gading, namun ia bisa di-gugu dan ditiru.
Metode berpikir apresiatif-kritis dan kritis-apresiatif (hal. 168-169) yang Pak Aksin elaborasi dari Faisal Ismail, dua corak pemikiran yang kerap digunakan. Penulis pun menggunakan itu, namun dengan penamaan yang berbeda, metode berpikir sapa-tegur dan tegur-sapa, agar lebih familiar dan dekat dengan filosofi Islam Nusantara.
Sapa-Tegur Seputar Buku
Sapa dalam hal ini berarti ukhuwah atau ta’aruf atau perkenalan dengan buku yang telah di kaji seseorang. Tegur, sebagaimana kritik bukan melulu dalam artian menyalahkan, akan tetapi saling mengingatkan dan saling menasehati. Ada lima poin dari buku ini, yaitu:
Pertama, buku yang dibedah ini merupakan karya tulis dan atau terjemah ke-25 dalam bentuk kitab, selain artikel di Jurnal. Kitab terinci sebanyak 24 buah, sedangkan artikel jurnal sebanyak 39 buah. Tercatat, total karya ilmiah Pak Wijaya berjumlah 63 karya tulis yang telah terpublikasikan, ditambah satu buku ini. Buku ini juga merupakan buku yang ke-2 yang menggunakan judul dengan kata fenomena, selain judul Arah Baru Studi Ulum Al-Qur’an: Memburu Pesan Tuhan di Balik Fenomena Budaya. Karya ilmiah ke-28 yang menggunakan judul dengan kata Islam, dari 11 kitab dan 16 artikel jurnal (hal: 223-227). Daftar rujukan buku ini berjumlah 241, menggunakan istilah SPs Ciputat, rinciannya adalah “Referensi Surga” berbahasa Arab sebanyak 133 buku, “Referensi Neraka” berbahasa Inggris 28 buah, dan “Referensi Manzilai bainal manzilatain” berbahasa Indonesia sebanyak 80 buah. Merujuk hal tersebut, beliau adalah termasuk sarjana Muslim yang bertanggung jawab terhadap Islam, bukan intelektual menara gading. Wijaya setidaknya telah berdakwah dengan tulisan dan menyebarluaskan karya-karya tulis khasanah keislaman kepada umat Muslim, bahkan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Karya-karya Wijaya lintas ruang-waktu dari pada sosok wijaya yang terkukung ruang dan waktu. Husein Muhammad dengan mengutip Abu ‘Amr al-Jahizh, seorang sastrawan sekaligus teolog besar, menasehatkan tentang buku dan pena bahwa:
الْقَلَمُ اَبْقَى أَثَراً – وَاللِّسَانُ أَكْثَرُ هَدَراً
لَوْلاَ الْكِتَابُ لَاخْتَلَّتْ أَخْبَارُ الْمَاضِيْنَ – وَانْقَطَعَ أَثَرُ الْغَائِبِيْنَ
وَاِنَّمَا اللِّسَانُ شَاهِدٌ لَكَ -وَالْقَلَمُ لِلْغَائِبِ عَنْكَ
الْكِتَابُ يُقْرَأُ بِكُلِّ مَكَانٍ -وَيُدْرَسُ فِى كُلِّ زَمَانٍ
Jejak goresan pena lebih abadi – Suara lidah acap tak jelas
Andai tak ada buku Tak lagi ada cerita masa lalu – Dan terputuslah jejak mereka yang telah pulang
Kata-kata hanyalah untuk yang hadir – Pena untuk yang tak hadir
Buku dibaca di segala ruang – Dikaji disegala zaman.
Kyai Husein Muhammad menjelaskan syair di atas bahwa membaca dan menulis adalah titik awal dan instrumen fundamental bagi penciptaan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban manusia. Melalui berbagai karya-karya tulis, sangat jelas kiranya bahwa Islam, bukan sekedar mengajarkan kepada manusia tentang keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan kehidupan metafisika atau kehidupan akhirat belaka, melainkan juga memiliki komitmen yang sangat jelas dan kuat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban yang didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan. Wijaya mengajarkan umat di Indonesia untuk membudayakan membaca kemudian menulis. Para ulama, baik di Timur-Tengah, Indonesia tidak lepas dari tradisi membaca dan menulis, bahkan kebanyakan mereka penulis produktif. Seperti Sunan Kali Jaga, Sunan Bonang, KH. Nawawi al-Bantani, Syekh Khatib Minangkabawi, KH. Kholil-Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Abdul Hannan Babakan Cirebon, KH. Bisri Mustofa, KH. Saifudin Zuhri, Mahbub Djunaidi, KH. Abrurahman Wahid, KH. A. Musthofa Bisri, Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, Nur Cholis Madjid, dan lain-lain. Dengan karya mereka keilmuan di pesantren dan di lembaga pendidikan lainnya tetap membumi, bergerak ke mana-mana, bahkan tetap lestari.
Kedua, karya tulis ini maupun karya-karya Aksin Wijaya lainnya mengisi masih minimnya kajian dan rujukan yang secara apresiatif-kritis mengkaji Mushaf Usmani untuk moderasi beragama umat manusia dari Intelektual Islam di Nusantara, terutama yang berasal dari kalangan santri. Farid Esack, Fazlur Rahman, Khaled Abou El Fadl, Nasr Hamid Abu Zayd dan masih banyak intelektual Timur-Tengah lainnya yang lainnya kerap menjadi sumber utama dunia akademisi berkaitan dengan tafsir yang kritis-apresiatif dan apresiatif-kritis (hal: 76). Karya Wijaya al-Madurai ini merupakan salah satu bukti peran ulama Islam di Nusantara terhadap moderasi umat manusia di dunia. Sampai saat tulisan ini ditulis, terutama istilah Islam Nusantara masih merupakan polemic, terlebih lagi pengakuan akan ulama di Nusantara dan kontribusinya karena dianggap backwater meminjam istilah Fazlur Rahman atau peripheral, daerah pinggiran, meminjam istilah Azyumardi Azra, dalam wordview kajian keislaman. Pandangan ini bisa dimafhumi, merujuk pada pendapat Fazlur Rahman, Ulama asal Pakistan yang mengajar di Universitas Chichago dan Universitas California Amerika Serikat, juga Azyumardi Azra karena kajian tentang Islam dengan segala aspeknya, baik oleh kalangan cendekiawan Barat maupun Timur, masih mengabaikan peradaban Islam di Asia-Tenggara. Padahal, khazanah pemikiran dan kiprah tokoh dari al-Jawi, al-Madurai, Negeri bawah angin, al-Malayui, al-Minankabaui, al-Bantani, al-Palimbani, al-Sinkili, dan sebagainya merupakan kajian akademik tentang peradaban Islam di Asia-Tenggara. Wijaya melalui karyanya membuktikan bahwa setidak-tidaknya, ulama Islam Nusantara telah berkontribusi dalam moderasi kehidupan melalui beraneka macam media dakwah.
Azyumardi Azra memformulasikan bahwa dalam ranah publik, peradaban dan kebudayaan Islam tidak hanya di Timur-Tengah saja, namun terbagi ke dalam delapan macam peradaban dan kebudayaan Islam di dunia ini. Jauh sebelum Azra, Fazlur Rahman juga telah panjang lebar menjelaskan delapan ranah publik peradaban dan kebudayaan Islam. Kedelapan bidang budaya Islam adalah; 1) Arab; 2) Persia atau Iran; 3) Turki; 4) anak benua India; 5) Kepulauan; Sino-Islam atau Asia Timur; 6) Afrika Sudan atau Afrika Hitam atau Afrika sub-Sahara; 7) Belahan Barat; dan 8) Islam Nusantara. Masing-masing bidang budaya Islam memiliki faktor pemersatu seperti bahasa, budaya dan tradisi sosial yang khas, sehingga ekspresi sosial budaya dan politik juga berbeda.
Kesatu adalah Arabic cultural domain, yang memiliki banyak tradisi dan kabilah tetapi memiliki bahasa yang sama, yaitu Bahasa Arab. Kedua adalah Iranian-Persian Islamic cultural sphere, yang memiliki tradisi intelektual Persia yang sangat kuat. Ketiga adalah Turkish Islamic cultural sphere, yang menekankan tradisi ghazi (kewiraan, militerisme), tidak terlalu filosofis, hingga Turki bisa menguasai Eropa. Keempat adalah Sudanic Islamic cultural sphere, yang memiliki orientasi tradisi lokal dan disampaikan dengan kewiraan, sehingga di Afrika Selatan banyak gerakan jihad yang bertujuan memurnikan Islam. Kelima adalah Indo-Pakistan Islamic cultural sphere, yang berciri khas strong mystical tradition karena banyak dipengaruhi tradisi Hindu. Keenam adalah Chino Islamic cultural sphere, yang sangat menghormati leluhur. Ketujuh adalah Western Islamic cultural sphere, di mana Islam masih mengalami keterancaman sehingga Islam menjadi semacam politic of identity, dan kedelapan adalah Nusantara Islamic cultural sphere.
Aksin dan Ulama Nusantara memiliki peran signifikan dalam kajian moderasi keislaman di dunia dengan berbagai aspeknya, baik secara teoritik maupun implikasinya, masih sangat langka dikaji oleh para akademisi di Barat, Timur, maupun kalangan Islam sendiri. Kajian tentang keislaman masih berkecenderungan kepada pemikiran dan peran ulama di Timur-Tengah, juga beserta pranata sosial dan budaya umatnya. Dalam kajian ilmiah pendidikan misalnya, berdampak pada semakin monolitik paradigma kajian Islam yang hanya bersumber dari negara-negara mayoritas Islam yang berbahasa Arab. Padahal, Islam yang sejak kali pertama kembali diajarkan dan ditutup oleh Nabiyullah dan Rasulullah Muhammad di Pusat Dunia Mekkah, semenjak terdahulu telah terdiaspora ke berbagai belahan dunia, baik di utara, selatan, barat maupun timur. Berbagai belahan diaspora umat Islam ke segenap penjuru dunia itu, dalam tiap geografis maupun sosiologisnya, memiliki ciri khas, keunikan, dan keistimewaan peradaban pendidikan Islam tersendiri, tidak hanya di Timur yang itupun hanya bagian Tengah, Timur-Tengah.
Bagaimana peradaban Islam berkembang di Asia Tenggara? Bagaimana peradaban Islam berkembang di Barat? Bagaimana peradaban Islam berkembang di Eropa? Bagaimana peradaban Islam berkembang di Afrika? Bagaimana peradaban Islam berkembang di Timut-Jauh? jawaban atas kajian itu masih belum banyak tereskplor di ranah ilmiah. Uniknya lagi, ciri khas diaspora umat Islam di berbagai belahan dunia itu, tanpa harus kehilangan apalagi sampai tercerabut dari keaslian ajaran keislaman itu sendiri yang rahmatan li al-alamin. Benar bahwa Islam berawal dan berkembang dari Jazirah Arabia. Tiada salah juga jika Islam di Timur-Tengah yang dulu sebagai pusat Keislaman dijadikan focus utama wordview mainstream kajiaan. Namun lebih konfrehensif jika wordview mainstream peradaban dunia juga merujuk Islam di Nusantara sebagai agen-agen produsen peradaban dunia, tak terkecuali dengan segala bentuk peradaban Islam.
Ketiga, Buku ini berciri khas Islam Nusantara yang menafsirkan sumber Islam dalam segala aspeknya secara wasathiyah (moderat), akomodatif, toleran, rilex, dan flowering. Wijaya dalam kapasitasnya sebagai intelektual Nusantara, dalam pemikiran dan perannya, selalu mengedepankan pendekatan kemanusiaan yang moderat (wasatiyyah) dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat dan menghargai kearifan local, tanpa harus kehilangan jati diri keislamannya. Islam yang diajarkan oleh Ulama Nusantara, hadir dalam peradaban dunia dengan penuh keramahan dan kesantunan, prinsip dakwah dengan membumikan Islam Rahmatan Lil ’alamin. Kajian buku ini dari bab pertama (hal: 15) sampai bab kelima terakhir (hal: 166-194) secara akomodatif, toleran, rilex, dan flowering menjelaskan tentang khazanah moderasi Qur’ani Mushaf Usmani. Karya ini syarat dengan ciri khas peradaban Islam nusantara yang penuh dengan moderasi, Islam-smilling face (Islam yang ramah-tamah), Islam yang karib bukan yang kalap (hal: 133-165), meminjam istilah Saiq Aqil Siradj.
Konsep moderasi atau wasathiyah, oleh Dedi Slamet Riyadi dan Muhammad Syafaat, diuraikan dengan “maknyus” meminjam bahasa yang dipopulerkan Bondan Prakoso. Merujuk pada penelusuran secara semantiknya, Riyadi dan Syafaat menjelaskan bahwa secara harfiah berarti tengah atau pertengahan. Ummah wasathan berarti umat yang pertengahan atau yang berada di tengah. Namun, makna etimologis kata wasatha tidak sesederhana itu. Beberapa kamus utama bahasa Arab mengindikasikan makna yang lebih khusus. Riyadi dan Syafaat menjelaskan bahwa Kamus al-Ghaniy, Mu‘jam al-Lughah al-Arabiyyah al-Mu‘ashirah, juga al-Wasith menunjukkan bahwa kata itu tidak hanya berarti di tengah, menengahi, atau pertengahan. Ketiga bersepakat menyatakan bahwa dalam kata wasath terkandung makna al-haqq (kebenaran), al-‘adl (keadilan), dan al-syarafah (kemuliaan). Dengan kata lain, seorang wasith adalah orang yang dianggap berpegang pada kebenaran, keadilan, dan sekaligus juga menjadi orang yang dihormati di tengah kaumnya, atau di tengah kelompoknya.
Dengan demikian, berdiri di tengah atau menjadi ummah wasatha adalah tugas yang besar dan berat untuk dijalani. Sebab, ummah wasatha bukanlah kelompok atau komunitas yang hanya berdiri di tengah, di antara berbagai kelompok lain, lalu diam tidak melakukan apa-apa. Komunitas wasatha bukanlah umat yang diam tidak berpihak. Komunitas wasatha adalah komunitas yang secara istiqamah berpihak pada kebenaran dan keadilan sehingga dua karakter itu melekat pada diri mereka. Jika keduanya telah melekat, pada gilirannya mereka menjadi komunitas yang syarif—kelompok yang mulia dan dihormati kelompok lain. Lebih jauh, kamus-kamus itu menjelaskan bahwa kata wasatha adalah kata kerja aktif yang sekaligus menunjukkan posisi. Karenanya, untuk mengatakan “Zaid duduk di antara para tamu” cukup dengan ungkapan “wasatha zaid al-dhuyufa”, tidak perlu menggunakan kata “jalasa fî wasath al-dhuyufi” atau duduk di antara para tamu. Jadi, bisa dikatakan, ummah wasathâ bukanlah ummah yang berdiam diri, tidak punya kecenderungan, dan tidak punya keberpihakan. Pribadi wasathâ juga bukanlah pribadi yang tidak berpihak, tetapi pribadi yang selalu berpegang pada kebenaran, bersikap adil, dan menjaga kemuliaan dirinya. Maka, predikat wasatha itu bukanlah predikat yang bisa dengan mudah dilekatkan pada satu atau sekelompok orang. Predikat itu lahir berkat perjuangan sepanjang hayat membela kebenaran dan keadilan. Jadi, butuh waktu yang panjang untuk mewujudkan ummah wasatha.
Masih menurut Riyadi dan Syafaat, salah satu ayat Al-Quran yang kerap dirujuk ketika berbicara tema moderasi adalah Q.S. al-Baqarah 143. Dalam ayat tersebut Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan kamu ummah wasatha dan agar kalian menjadi saksi atas manusia…” Menarik untuk dicermati bahwa ayat ini muncul setelah ayat tentang konflik orientasi, perbedaan paham tentang qiblah, arah pikiran, arah cita-cita dan arah tujuan. Seakan-akan Allah hendak mengatakan, tidak penting orientasimu ke mana, karena kebenaran itu ada di mana-mana (qul lillah al-masyriq wa al-maghrib). Ketika ada begitu banyak orientasi, begitu banyak arah yang dituju, yang harus dilakukan adalah istikamah menempuh jalan petunjuk yang paling kokoh rambu-rambunya (yahdi man yasya’ ila shirath mustaqim). Berkaca pada makna etimologis kata wasatha, bisa dikatakan bahwa menjadi pribadi yang moderat tidak cukup hanya dengan berada di tengah-tengah tanpa cenderung pada salah satu pihak atau golongan. Sosok yang moderat tetap berpihak dan memiliki pilihan, bahkan kokoh di jalan pilihannya, tetapi ia pun mengakui dan menerima perbedaan orang lain. Jadi moderasi adalah bagaimana “menerima” perbedaan dan keragaman. Sikap penerimaan itu dilandasi oleh al-haqq dan al-‘adl. Karena itulah tidak penting lagi memperdebatkan apa makna wasathiyyah. Sebab, yang paling penting adalah bagaimana menarik pembicaraan ini dari ruang teoretis ke arah praktis. Kita semua membutuhkan solusi daripada sekadar memperdebatkan satu istilah di ruang akademis yang kaku dan penuh teori. Buku ini hadir untuk bagaimana menarik moderasi berdasarkan beragam tafsiran, terutama tafsir Maqasidi atas Mushaf Usmani, dari ruang teoretis ke arah praktis, juga solusinya (hal: 30-59). Buku ini sesuai dengan pernyataan Ahmad Syafii Ma’arif bahwa, “Kalau dibiarkan ini yang garis keras, yang menganut teologi maut yang saya katakan. Teologi maut itusebuah teologi yang mengajarkan berani mati dengan tidak berani hidup. Jadi paranoid …. Yang Penting sekarang adalah orang-orang yang normal, orang-orang yang siuman seperti kita ini jangan diam. Jangan diam! Sebab kalau diam, yang akan merajalela mereka.”
Keempat, meskipun merupakan buku bunga rampai atau kompilasi dari tulisan-tulisan di jurnal, buku ini telah cukup memenuhi rumusan al-Mabādi’ al-‘Asyarah (مبادئ العشرة) bangunan suatu keilmuan. Abu Irfan Muḥammad bin ‘Ali al-Ṣabban al-Mishri, -ulama, cendekiawan dan pakar ilmu mantiq atau Logika,- dalam kitab Ḥāsyiyah ‘ala Syarḥ al-Salmi li al-Maliwwī memberikan panduan formula untuk bangunan dasar suatu keilmuan, apapun bentuk keimuannya. Kesepuluh hal tersebut, dalam istilah ilmu logika dikenal dengan rumusan al-Mabādi’ al-‘Asyarah (مبادئ العشرة). Formulasi itu pula yang menjadi panduan urutan dan runtutan buku fenomena berislam ini, yaitu:
إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ # الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمره
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ # وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِعُ
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى # وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا
“Sesungguhnya prinsip dasar dalam setiap disiplin ilmu itu ada sepuluh, yaitu: al-Ḥadd (Definisi keilmuan), al-Maudhu’ (Ruang Lingkup/obyek Kajian keilmuan), al-Tsamarah (Kegunaan keilmuan), al-Nisbah (Keterkaitan keilmuan dengan ilmu lain), al-Fadhl (Keutamaan keilmuan dari ilmu lain), al-Wādhi’ (Pelopor keilmuan), al-Ism (Penamaan keilmuan), al-Istimdād (Sumber Keilmuan), al-Hukm Al-Syāri’ (Hukum mempelajari keilmuan), al-Masāil (Masalah Pokok keilmuan). [Keterkaitan bahasan] sebagian bab dengan sebagian bab lain sudah mencukupi. Barangsiapa yang menguasai kesepuluh dasar tersebut, maka akan meraih kemuliaan.”
Senada dengan kitab kitab Ḥasyiyah ‘ala Syarḥ al-Salmi li al-Maliwwi, buku ini juga sesuai dengan formula keilmuan dari Abu al-‘Abbas Ahmad al-Maqri at-Tilmisani, penulis kitab Nafh ath-Thayyib fî Ghushn al-Andalus ar-Rathib melalui gubahan syair dalam sebuah risalahnya, idhaah ad-Dujnah fî I’tiqad Ahl as-Sunnah:
مَنْ رَامَ فَنًّا فَلْيُقَدِّمْ أَوَّلَا # عِلْماً بِحَدِّهِ وَمَوْضُوْعٍ تَلَا
وَوَاضِعٍ وَنِسْبَةٍ وَمَا اسْتَمَدّْ # مِنْهُ وَفَضْلِهِ وَحُكْمٍ يُعْتَمَدْ
وَاسْمٌ وَمَا أَفَادَ وَالمَسَائِلِ # فَتِلْكَ عَشْرٌ لِلمُنَى وَالسَّائِلِ
وَبَعْضُهُمْ مِنْهَا عَلَى البَعْضِ اقْتَصَرْ # وَمَنْ يَكُنْ يَدْرِي جَمِيْعَهَا انْتَصَرْ
Siapapun yang ingin belajar satu (fann) disiplin ilmu, hendaknya ia mengerti terlebih dahulu definisi dan objek pembahasannya. Pun juga kenal dengan pencetus ilmu itu, sumber dan juga keterkaitannya dengan ilmu lain. Keistimewaan serta hukum mempelajari dan mengajarkannya juga patut diketahui. Sebutan nama dan materi pembahasannya juga tak boleh diabaikan begitu saja. Sepuluh dasar tersebut akan memudahkan tercapainya keinginan menguasai ilmu itu serta memberi gambaran singkat bagi siapapun yang penasaran maupun bertanya. Namun sejumlah pelajar hanya tahu sebagiannya saja. Padahal mengetahui keseluruhan sepuluh itu sangat membantu.
Membaca buku ini adalah membaca fenomena keragaman dan keberbedaan Berislam itu sendiri dengan dilandasi kesepuluh sistematika tersebut. Buku ini menghimpun tulisan artikel dari empat jurnal dan satu Naskah Pengukuhan Guru Besar Aksin Wijaya. Buku ini sendiri merayakan keragaman dan perbedaan yang dibalut dalam satu wacana yang sama: moderasi.
Kelima, Syafii Ma’arif, yang memberi Kata Pengantar di buku ini (hal: 5-8), menurut Hamid Basyayib, berdakwah dengan mengusung Batlle Cry (teriakan perjuangan), “umat Islam seribu tahun berhenti berpikir!”. Sependek pembacaan penulis, buku ini pada intinya bertujuan untuk menggalakkan wicara Mushaf Usmani dari kebisuan. Batlle Cry yang diusung oleh Wijaya untuk membumikan dan memanusiakan Al-Qur’an didasari oleh pernyataan-pernyataan Imam Ali bin Abi Thalib Karroma Awlohu Wajhahu, di antaranya adalah (hal: 31):
ويحك لا تجادلهم بالقرآن فإنه حمال أوجه، وجادلهم بالسنة
“Janganlah kamu berdebat menggunakan al-Qur’an, karena ia banyak mengandung wajah, berdebatlah mereka dengan menggunakan sunnah.”
Khotbah Imam Ali ke-157, Tentang Nabi dan Al-Qur’an yang dirangkum dalam kitab Nahjul Balaghah:
أَرْسَلَهُ عَلَى حِينِ فَتْرَةٍ مِنَ الرُّسُلِ وَطُولِ هَجْعَةٍ مِنَ الْأُمَمِ وَانْتِقَاضٍ مِنَ الْمُبْرَمِ فَجَاءَهُمْ بِتَصْدِيقِ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَالنُّورِ الْمُقْتَدَى بِهِ ذَلِكَ الْقُرْآنُ فَاسْتَنْطِقُوهُ وَلَنْ يَنْطِقَ وَلَكِنْ أُخْبِرُكُمْ عَنْهُ أَلَا إِنَّ فِيهِ عِلْمَ مَا يَأْتِي وَالْحَدِيثَ عَنِ الْمَاضِي وَدَوَاءَ دَائِكُمْ وَنَظْمَ مَا بَيْنَكُمْ
“Allah mengutus Nabi ketika tak ada rasul selama beberapa waktu. Manusia telah tertidur selama waktu panjang, dan pergeseran tali telah melonggar. Beliau datang dengan (sebuah Kitab) yang membenarkan (kitab-kitab) yang telah ada dan dengan cahaya untuk diikuti. Itulah Al-Qur’an. Apabila Anda memintanya bicara maka ia tak akan melakukannya, kecuali apabila saya katakan kepada Anda tentang dia. Ketahuilah bahwa (Kitab) itu berisi pengetahuan tentang apa yang akan datang, sejarah masa lalu, kesembuhan bagi penyakit Anda, dan peraturan bagi segala yang Anda hadapi.”
Pernyataan Imam Ali di atas, selaras dan seirama dengan pernyataan dari Syekh Abu Madyan li Syaikh al-Syuyukh Abi Madyan al-Tilmisani al-Maghribi, yang menyatakan bahwa:
القرأن نزل و تنزل, فالنزول قد مضى, والتنزل باق الى يوم القيامة.
al-Qur’ānu nazala wa tanazzala, fa al-nuzūlu bāqin ilā yaum al-Qiyāmati.
“Al-Qur’an telah turun (nuzūl) dan akan terus turun (tanazzul). Proses nuzūl telah berlalu, tetapi proses tanazzul terus berlangsung hingga hari kiamat.”
Buku ini adalah karya seorang intelektual tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran dalam upaya kerasnya memancarkan kilau cahaya sudut-sudut penting “intan” yang dikandung Al-Quran. Berasal dari empat makalah dan satu ceramah yang pernah disampaikan oleh penulisnya pada rentang waktu 2020 hingga 20222, tema dan gaya pembahasan buku ini terpola menjadi dua bagian. Di bagian pertama, secara efektif dan efisien, penulis menjabarkan dan membahas pelbagai “aturan main” berkaitan dengan cara-cara memahami Al-Quran. Di bagian kedua, secara jenial, penulis mendemonstrasikan keahliannya memahami, sekaligus juga mencarikan jalan keluar bagi, problem-problem intelektual dan sosial yang muncul dalam masyarakat dengan berpijak pada “aturan main” Al-Quran.
Meskipun belum semua problematik di seputar studi-studi Al-Quran, keislaman, dan kemasyarakatan terungkap secara menyeluruh, namun buku ini diharapkan dapat mengantarkan para peminat studi Al-Quran pada khusunya dan studi keislaman pada umumnya untuk melangkah lebih jauh dan terarah. Sebuah buku penting dan langka di bidangnya, serta ditulis oleh seorang pakar yang juga langka di bidangnya.
Kesimpulan
Buku Fenomena BerIslam: Genealogi dan Orientasi Berislam Menurut al-Qur’an mencerminkan ke-mutabaḥḥīr-an dan ketekunan Aksin Wijaya mengasah pikir dengan menimba segala macam ilmu, baik Ilahiah maupun ilmiah untuk memperkenalkan islam yang moderat. Hal tersimpulkan dari; Pertama. karya ini merupakan karya sarjana Muslim yang bertanggung jawab terhadap Islam, bukan intelektual menara gading. Wijaya setidaknya telah berdakwah dengan tulisan dan menyebarluaskan karya-karya tulis khasanah keislaman kepada umat Muslim, bahkan umat manusia di seluruh penjuru dunia. Kedua, karya tulis ini maupun karya-karya Aksin Wijaya lainnya mengisi masih minimnya kajian dan rujukan yang secara apresiatif-kritis mengkaji Mushaf Usmani untuk moderasi beragama umat manusia dari Intelektual Islam di Nusantara. Ketiga, Buku ini berciri khas Islam Nusantara yang menafsirkan sumber Islam dalam segala aspeknya secara wasathiyah (moderat), akomodatif, toleran, rilex, smillng-face dan flowering, islam karib dan bukan islam kalap. Keempat, meskipun merupakan buku bunga rampai atau kompilasi dari tulisan-tulisan di jurnal, buku ini telah cukup memenuhi rumusan al-Mabādi’ al-‘Asyarah (مبادئ العشرة) bangunan suatu keilmuan. Kelima, buku ini pada intinya bertujuan untuk menggalakkan wicara Mushaf Usmani dari kebisuan. Batlle Cry yang diusung oleh Wijaya untuk membumikan dan memanusiakan Al-Qur’an untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia di bumi dan kelak di akhirat nanti.