Update

Revitalisasi Etika Beragama Dalam Islam Di Indonesia

 

Revitalisasi Etika Beragama Dalam Islam Di Indonesia
Oleh: Jufriyanto

Pada tanggal 16 Februari 2022, Mas Aksin menerima tulisan saya tentang pemikirannya yang selalu memberikan kritik yang konstruktif dan apresiatif terhadap beberapa aliran Islam di Indonesia. Setelah itu, beliau mengirimi saya foto buku terbarunya, yang akan dirilis pada bulan Maret, dan beliau mengintruksikan saya agar menulis resensi buku terbarunya. Ada dua buku yang beliau sampaikan melalui WhatsApp yang akan terbit pada Maret. Pertama berjudul Fenomena Berislam: Geneologi dan Orientasi Berislam Menurut Al-Quran, Buku ini adalah tulisan-tulisan Mas Aksin telah dimuat di sejumlah jurnal yang terindeks Scopus, baik di dalam maupun di luar negeri, serta artikel-artikel yang dipresentasikan di forum seminar dan orasi ilmiah. Buku ini memiliki sisi menarik dan penting yang dapat dijadikan acuan oleh para penggiat kajian Al-Qur’an untuk mengungkap dimensi lain yang merupakan kehendak Tuhan agar selalu sejalan dengan konteks ruang dan waktu.

Buku yang Kedua berjudul Dinamika Pemikiran dan Kehidupan Beragama di Indonesia Buku ini memuat esai-esai Mas Aksin serta kumpulan artikel-artikel lainnya dari para intelektual Islam Indonesia kontemporer. Secara umum, buku ini mendokumentasikan dan menganalisis secara objektif kesulitan-kesulitan yang telah melanda budaya dan pemikiran Islam selama beberapa dekade. Namun, saya lebih tertarik untuk mengulas yang pertama dari dua buku tersebut. Terutama setelah membaca artikel di buku ini yang berjudul Berislam Secara Etis: Dari Teologi Kebencian Ke Etika Beragama. Mas Aksin menggunakan teori dari Bartens dalam artikel ini, yang membagi etika menjadi tiga kategori: Etika Deskriptif, Etika Normative, dan Metaetika.

Etika Deskriptif adalah teori etika yang hanya menggambarkan fenomena moral tanpa menawarkan penilaian praktis tentang baik atau buruknya perilaku seseorang atau masyarakat; Etika Normatif, juga dikenal sebagai etika filosofis, adalah untuk menentukan landasan nilai dan aturan dasar perilaku seseorang atau masyarakat, serta untuk menilai perilaku yang baik dan buruk; Metaetika, sering dikenal sebagai aliran analitis filsafat moral, berkaitan dengan latar belakang filosofis bahasa moral seperti baik, buruk, adil, wajib, bebas, bertanggung jawab, dan sebagainya. Mas Aksin menggunakan tiga kriteria etik ini untuk mendeskripsikan, menilai, dan mengkritisi tindakan berbagai gerakan Islam yang telah melakukan aksi kekerasan dan memupuk kebencian atas nama agama.

Artikel ini memuat tiga isu menarik tentang etika hidup bersama umat beragama di Indonesia yang harus diketahui oleh masyarakat umum. Pertama Etika terhadap penguasa, dalam pembahasan ini Mas Aksin memaparkan pemikiran Baydaba dalam bukunya Kalilah wa Dimmah dan pemikiran Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam bukunya At-Tibr al-Masbuk fi Nashit al-Muluk yang kedua buku ini berisi nasihat-nasihat moral dan filosofis terhadap penguasa. Mas Aksin mengatakan, mengkritik penguasa tidak harus dilakukan dengan kekerasan, revolusioner, atau dengan kebencian yang mengatasnamakan agama, seperti yang ditunjukkan oleh dua intelektual di atas. Namun bisa dilakukan dengan cara yang bijak, seperti memberi nasehat yang disampaikan dengan lembut. Imam al-Ghazali, misalnya, menggunakan hikayat, perumpamaan, dan kalimat yang bijak.

Kedua, etika beragama terhadap pemeluk agama lain. Mas Aksin membuka diskusi ini dengan bercerita tentang enam agama yang diakui di Indonesia. Kemudian ia menekankan bahwa Al-Qur’an mengambil bentuk interaksi apresiasi kritis dengan pemeluk agama lain, baik secara teologis maupun etis-humanis. Lebih lanjut Mas Aksin menyatakan bahwa Al-Qur’an menyarankan umat Islam untuk menggunakan istilah yang tidak menyinggung perasaan orang-orang dari agama lain, bahkan jika istilah itu benar, seperti kafir. Mas Aksin mengacu pada nasehat Yusuf al-Qardhawi bahwa daripada menggunakan istilah kafir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, mereka harus disebut sebagai non-Muslim, karena istilah kafir memiliki banyak arti. Sesuai dengan pandangan di atas, Mas Aksin suka menyebut mereka sebagai ukhuwah insaniyah, karena mereka semua adalah manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang sama.

Poin ketiga adalah etika terhadap sesama muslim, Mas Aksin menggarisbawahi dalam poin ini bahwa umat Islam adalah umat yang terbaik, umat Islam adalah umat yang mempersatukan, dan umat Islam adalah saudara. Dengan alasan inilah umat Islam tidak boleh menyakiti orang mukmin lainnya dan sebaliknya harus saling membantu. Mereka harus saling mencintai. Jika cintanya kepada saudaranya berbeda dari cintanya pada dirinya sendiri, dia tidak dianggap sebagai seorang mukmin yang sempurna. Akibatnya, seorang muslim tidak boleh melakukan sesuatu yang merugikan umat Islam lainnya, seperti menyebut orang yang berbeda paham, ormas, atau pilihan politik dengan sebutan kafir, taghut, musyrik, sesat, cebong, jancuk, bajingan, dan ungkapan kebencian lainnya yang akan menyebabkan umat Islam terpecah belah.

Dengan demikian di Indonesia, umat Islam harus menjunjung tinggi persaudaraan, persatuan, dan tolong-menolong serta menghindari kebencian dan kekerasan, baik secara fisik maupun verbal. Dan umat Islam di Indonesia harus menekankan politik etis di atas politik nasional untuk menjamin keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *