Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas
Hidup diibaratkan seperti berjalan di atas jembatan gantung. Tali atau pegangan di tepi jembatan berperan sebagai hukum. Untuk selalu berjalan lurus, orang-orang harus berjalan sesuai batas tepi tali atau pegangan itu. Apabila sesorang berjalan seenakanya dan melanggar batas yang telah ditentukan pasti akan jatuh dan celaka.
Dalam realaitas di negeri ini, telah banyak yang berjalan seenakanya dan melanggar batas yang telah ditentukan. Tindak pidana korupsi adalah salah satunya. Maraknya tindak korupsi merupkan contoh nyata bentuk pelanggaran hukum yang banyak menyengsarakan rakyat di negeri ini. Menurut Ilham Saenong di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu, 27 Januari 2016 dalam berita harian Tempo.Co, Indonesia menempati peringkat 87 dunia negara bebas korupsi. Ini menunjkkan bahwa penanganan korupsi dalam negeri masih kurang sekali.
Gayus Tambunan merupakan salah satu orang yang berani melakukan tindak korupsi di dalam negeri. Ia menggelapkan dana pajak negara bermilyar-milyar rupiah. Selain itu, Gayus juga menyuap penyidik Bareskrim Polri untuk meloloskan diri dari hukuman yang akan dijtauhkan kepadanya. Setelah itu, Gayus bahkan sempat berjalan-jalan ke Singapura dan Bali dengan uang hasil korupsinya.
Dalam kasus penanganan korupsi ketegasan hukum sangat perlu dipertanyakan. Dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) telah dijelaskan, setiapa orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, yang suatu tindak korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lam 20 (dua puluh ) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah. Selain itu hukuman mati pun juga bias dijatuhkan kepada ang koruptor seperti yang tertuang pada Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi, dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatukan.
Dasar hukum sudah tertulis nyata dan tegas. Namun, ketegassn para penegak hukumnya yang membuatnya menjadi lemah. Kertas bernominal dari tikus berdasi ternyata bisa mengalahkan ketegasan para pemakai seragam dinas yang berwibawa dan berpendidikan tinggi. Para penegak hokum harus mempunyai prinsip yang kuat. Sesuai dengan ayat Alquran yang artinya “Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin mnyimpang dari kebenaran/keadilan” (QS. An-Nisaa’ 135).
Para penegak hukum hanya tegas kepada rakyat kecil. Berbeda saat berhadapan dengan para koruptor, bagaikan ketemu dengan teman lam yang hanya sedikit traktiran membuat lupa kalau koruptor adalah tikus pemakan uang rakyat yang harus dibasmi. Para penegak hkum harus adil, tidak pandang bulu siapa saja. Siapa yang salah harus diadili dan diberi sanksi sesuai kesalahannya. Ayat Aquran menjelaskan yang artinya ”Apabila kamu menghukum (menetapkan hukum) diantara manusia hukumlah dengan adil” (QS. An-Nisaa’: 58). Jadi, hukum yang baik adalah memberikan keadilan bukan menyengsarakan.
Penulis: Sayyid Abdullah (Warga ’17)