Mimpi Mimpin Pemimpin
“Kapan tatanan negara yang adil ini bisa terwujud, mon?” bertanya Sartono di tengah kepusingannya atas terkatung-katungnya proses pemilihan Camat di daerahnya.
“Tatanan negara seng adil, maksude?” Sarkamon malah ganti gaya.
“Ya, mengapa masih banyak pemimpin-pemimpin kita yang masih belum adil?”
Sarkamon tertawa.
“Ngene lho,” dia berkata, “negeri kita ini masih bingung dalam menentukan pemimpin, juga kita masih terlalu naif untuk menjadi rakyat.”
“Apa yang kamu maksudkan, mon?” Sartono semakin bingung, “apanya yang bingung? Naif bagaimana?” tambahnya.
“Kalau kita ingin mewujudkan tatanan negeri yang adil dan yang diimpikan oleh semua orang, sebenarnya itu bukan hanya sebuah mimpi, kita dapat mewujudkan itu,” Sarkamon berhenti berbicara sejenak, lalu disruputlah wedang cor kesukaannya, “sebenarnya, pemimpin yang baik itu bukan mencalonkan diri dalam pemilu, meskipun itu dipilih oleh semua warga, itu hanya promosi belaka. Apalagi dengan membawa nama partai di belakangnya. Kalau boleh suuzhan, meskipun itu tidak boleh, ada kemungkinan pemimpin yang terpilih itu akan pilih kasih kepada partai yang mencalonkannya, dan tidak menutup kemungkinan juga, pemimpin itu disetir oleh partai yang membawanya,” jelas Sarkamon.
Sartono kagum. “Wah, saya tidak tahu kalau kamu bisa menjelaskan sampai pada titik ini,” berkata Sartono sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lantas memilih pemimpin yang baik menurut anda itu bagaimana?” tanyanya.
“Milih pemimpin seng apik jareku yo seng dicalonno rakyate. Maksudku, pemimpin yang dipercayai oleh rakyat, yang langsung dijadikan pemimpin tanpa ada pemilihan.”
“Oke, saya bisa memahami apa yang kamu maksud itu. Kemudian, apa maksud kamu tentang masyarakat masih naif?” tanya Sartono seakan mengintrogasi.
“Ya bagaimana tidak bisa dibilang naif? Ketika seorang pemimpin bekerja dengan baik, para masyarakat menjunjungnya sampai-sampai levelnya berada dalam level menabikan. Bagaimana jika sebaliknya? Para masyarakat langsung membununhya tanpa mengingat kebaikan yang telah pemimpin itu lakukan, mereka terlalu menuntut yang cerah saja. Padahal kita tahu kalau semua ciptaan Tuhan itu selalu memiliki terang dan gelap. Yin tak akan ada artinya kalau tidak ada Yang, begitu juga sebaliknya. Tidak akan ada yang namanya baik jika buruk tidak ada,” jelas Sarkamon sambil mengusap dahinya. Dia berkeringat. Mungkin gara-gara kehangatan wedang cor yang membuat organ-organ tubuhnya berekskersi.
Sartono mengangguk-anggukkan kepala. Dia paham tentang penjelasan Sarkamon tentang kenaifan masyarakat terhadap perbuatan pemimpin. Perkataan Sarkamon memang ada benarnya bagi orang yang mau berfikir.
Suasana hening diantara mereka berdua. Padahal di Kafe Wak Kaji Mat lagi ada live concert. Pastinya ramai. Kalau dipikir-pikir ada suatu kejanggalan. Mengapa hanya ada Sarkamon dan Sartono? Dimana Sarkadi? Live concertlah jawabannya. Sarkadi disuruh nyanyi di kafe itu oleh Wak Kaji Mat. Gara-garanya Wak Kaji Kagum ketika Sarkadi melantunkan lagu Kun Antanya Humood Al Khudeer dulu. Maka dari itu hanya ada Sartono dan Sarkamon yang berdialog.
“Mon..” suara Sartono memecahkan kebisuan diantara mereka berdua, “itu kan tentang sistem kepemimpinan. Sekarang saya mau tanya kepadamu. Menurutmu, kriteria pemimpin yang baik itu bagaimana?” tanya Sartono kepada Sarkamon. “Wah, pas banget kamu ngomong seperti ini. Aku baru saja baca-baca Astabrata,” jawab Sarkamon dengan cengar-cengir. Sarkamon suka sekali berbagi ilmu kepada teman-temannya. Apalagi ilmu yang baru didapatnya. Pasti dia berbagi kepada mereka.
Sartono terdiam. Apa itu astabrata? Dia ingin menanyakan itu kepada Sarkamon, tapi dia malu. “No! Sartono!” panggil Sarkamon tepat di depan wajahnya. Sartono kaget, suara Sarkamon memecahkan heningnya suasana. “Kamu tahu nggak apa itu astabrata?” katanya. “Apa itu, mon? Saya baru dengar hal itu,” jawab Sartono. Sarkamon menjelaskan tentang apa itu Astabrata.
Astabrata berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti delapan kepemimpinan. Maksud dari delapan kepemimpinan itu adalah delapan kriteria kepemimpinan yang harus dimiliki oleh calon pemimpin.
Astabrata adalah ajaran yang diberikan Sri Rama kepada Wibhisana sebagai Raja Alengka Pura menggantikan kakaknya Rahwana. Ini adalah isi dari Astabrata. Yang pertama, Laku Hambeging Indra. Seorang yang dipercaya menjadi pemimpin, hendaknya mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya dan dalam segala tindakannya dapat membawa kesejukan & kewibawaan seperti bintang. Maknanya, seorang pemimpin haruslah kuat, tidak mudah goyah, berusaha menggunakan kemampuan untuk kebaikan rakyat, tidak mengumbar hawa nafsu, kuat hati & tidak suka berpura-pura. Seorang pemimpin haruslah adil seperti air, yg jika di seduh di gelas akan rata mengikuti wadahnya. Keadilan yang ditegakkan bisa memberi kecerahan ibarat air yg membersihkan kotoran. Air juga tidak pernah pilih kasih karena air akan selalu turun ke bawah, tidak naik ke atas.
Yang kedua, Laku Hambeging Yama. Pemimpin hendaknya meneladani sikap & sifat Dewa Yama, dimana Dewa Yama selalu menegakkan keadilan menurut hukum atau peraturan yg berlaku demi mengayomi rakyatnya. Harus menindak tegas abdinya, jika mengetahui abdinya itu memakan uang rakyat & mengkhianati negaranya. Dewa Yama memiliki sifat seperti mendung (awan), mengumpulkan segala yang tidak berguna menjadi lebih berguna. Adil, tidak pilih kasih. Bisa memberikan ganjaran yang berupa hujan & keteduhan. Jika ada yg salah maka akan dihukum dengan petir & halilintar.
Yang ketiga, Laku Hambeging Surya. Seorang pemimpin yang baik haruslah memiliki sifat dan sikap seperti matahari (surya) yg mampu memberi semangat & kekuatan yg penuh dinamika serta menjadi sumber energi bagi bumi pertiwi. Sifat matahari berarti sabar dalam bekerja, tajam, terarah & tanpa pamrih. Semua yang dijemur pasti kena sinarnya, tapi tidak dengan serta merta langsung dikeringkan. Jalannya terarah & luwes. Tujuannya agar setiap manusia sabar & tidak sulit dalam mengupayakan rejeki. Menjadi matahari juga berarti menjadi inspirasi pada bawahannya, ibarat matahari yang selalu menyinari semesta.
Yang keempat, Laku Hambeging Candra. Pemimpin hendaknya memiliki sifat & sikap yg mampu memberikan penerangan bagi rakyatnya yang berada dalam kebodohan dengan wajah yang penuh kesejukan seperti rembulan (candra), penuh simpati, sehingga rakyat menjadi tentram dan hidup dengan nyaman. Rembulan juga bersifat halus budi, terang perangai, menebarkan keindahan kepada seisi alam. Seorang pemimpin harus berlaku demikian, menjadi penerang bagi rakyatnya.
Yang kelima, Laku Hambeging Maruta. Maruta adalah angin. Pemimpin harus menjadi seperti angin. Senantiasa memberikan kesegaran & selalu turun ke bawah melihat rakyatnya. Angin tidak berhenti memeriksa & meneliti, selalu melihat perilaku manusia, bisa menjelma besar atau kecil, berguna jika digunakan. Jalannya tidak kelihatan, nafsunya tidak ditonjolkan. Jika ditolak ia tidak marah & jika ditarik ia tidak dibenci. Seorang pemimpin harus berjiwa teliti di mana saja berada. Baik buruk rakyat harus diketahui oleh mata kepala sendiri, tanpa menggantungkan laporan bawahannya. Biasanya, bawahan begitu pelit & selektif dalam memberikan laporan kepada pemimpin, dan terkadang hanya kondisi baik-baiknya saja yg dilaporkan.
Yang keenam, Laku Hambeging Bumi. Pemimpin hendaknya memiliki sifat-sifat utama dari bumi, yaitu teguh, menjadi landasan pijak & memberi kehidupan (kesejahteraan) untuk rakyatnya. Bumi selalu dicangkul dan digali. Namun bumi tetap ikhlas & rela. Begitu pula dengan seorang pemimpin yang rela berkorban kepentingan pribadinya untuk kepentingan rakyat. Seorang pemimpin haruslah memiliki sikap welas asih seperti sifat-sifat bumi. Falsafah bumi yang lain adalah air tuba dibalas dengan air susu. Keburukan selalu dibalas dengan kebaikan & keluhuran.
Yang ketujuh, Laku Hambeging Baruna. Baruna berarti samudra yang luas. Sebuah samudra memiliki wawasan yg luas, mampu mengatasi setiap gejolak dengan baik, penuh kearifan, dan kebijaksanaan. Samudera merupakan wadah air yang memiliki sifat pemaaf, bukan pendendam. Air selalu diciduk dan diambil tapi pulih tanpa ada bekasnya. Seorang pemimpin harus mempunyai sifat pemaaf, sebagaimana sifat air dalam sebuah samudra yg siap menampung apa saja yg hanyut dari daratan. Samudra mencerminkan jiwa yg mendukung pluralisme dalam hidup bermasyarakat yang berkarakter majemuk.
Yang kedelapan, Laku hambeging Agni. Pemimpin hendaknya memiliki sifat mulia dari api (agni), yang selalu mendorong rakyatnya memiliki sikap nasionalisme. Seperti api, berarti pemimpin juga harus memiliki prinsip menindak yang bersalah tanpa pilih kasih. Api bisa membakar apa saja, menghanguskan semak-semak, menerangkan yang gelap. Bisa bersabar namun juga bisa sangat marah membela rakyatnya jika dizolimi & tetap memiliki pertimbangan berdasarkan akal sehat & bisa dipertanggungjawabkan.
Itu adalah penjelasan Sarkamon tentang Astabrata kepada Sartono. Sekali lagi, Sartono kagum kepada temannya yang satu itu. Tapi, ada yang membuatnya ragu. “Mon.. Penjelasan anda baik sekali tentang Astabrata itu. Namun, apakah boleh kita mengambil dari ajaran itu?” tanyanya. “Oh.. Masalah itu. Rapopo, kok,” jawab Sarkamon simpel. “Kok bisa tidak apa-apa?” tanya Sartono lagi. “Asalkan tidak bertolak belakang dari ajaran Islam itu boleh-boleh saja. Ini kan tentang pemimpin. Bukan tentang syari’at.” jelas Sarkamon. “Oh.. Yayaya.. Saya paham,” kata Sartono.
Dialog Sartono dan Sarkamon membuat lupa waktu. Tak terasa, Kafe Wak Kaji Mat sudah mau tutup. Sarkadi lemas. Suaranya habis. Dia penasaran melihat dua temannya senyam-senyum sendiri dengan wajah penuh kepuasan. Dia bertanya kepada Sartono, tapi tidak dijawab. Pada akhirnya, mereka memutuskan untuk pulang ke kontrakan.
Penulis: Itsbaatunnadzri A (Warga 16)