Update

Antara Harapan dan Kenyataan: Kualitas Ilmu Seorang Profesor

Dr. Abdul Wadud Nafis, LC., MEI

Gelar “profesor” sering kali diasosiasikan dengan sosok yang memiliki ilmu mendalam, integritas akademik, serta kontribusi nyata bagi perkembangan pengetahuan. Namun, dalam realitanya, tidak semua profesor memenuhi ekspektasi ideal tersebut. Ada jurang lebar antara harapan masyarakat terhadap kualitas ilmu seorang profesor dan kenyataan yang terjadi di lapangan.

A. Harapan: Sang Otoritas Ilmu

1. Kedalaman dan Orisinalitas

   Profesor diharapkan menguasai bidangnya secara komprehensif dan mampu menghasilkan karya orisinal, seperti penelitian inovatif atau teori baru.

   Contoh: Guru besar di bidang sains diharapkan berkontribusi pada kemajuan teknologi atau temuan ilmiah. Di Indonesia, profesor seperti BJ Habibie dikenal karena kontribusi orisinalnya di bidang aeronautika.[

(Habibie, B.J. (1995). Entwicklung eines Verfahrens zur Bestimmung des Rißfortschritts in Schalenstrukturen. Jerman: Deutsche Forschungsanstalt für Luft- und Raumfahrt)

2. Integritas Akademik

   Masyarakat berharap profesor menjunjung tinggi etika akademik, seperti anti-plagiarisme, objektivitas dalam penelitian, dan transparansi metode.

   Data: Survei Retraction Watch (2021) menunjukkan bahwa 60% kasus pencabutan makalah ilmiah terkait pelanggaran etik seperti fabrikasi data atau plagiarisme. ( Brainard, J. (2021). The Rise of Retractions. Retraction Watch)

3. Dedikasi Mengajar dan Mencerahkan

   Sebagai pendidik, profesor diharapkan mampu mentransfer ilmu dengan jelas, membimbing mahasiswa, dan menginspirasi generasi baru.

   Contoh: Di Harvard, profesor seperti Michael Sandel (filsuf politik) dikenal karena metode pengajarannya yang interaktif dan berdampak luas. (Sandel, M. (2010). Justice: What’s the Right Thing to Do? Farrar, Straus and Giroux)

B. Kenyataan: Tantangan dan Penyimpangan

1. Kualitas yang Tidak Merata

   Tidak semua profesor memiliki kapasitas keilmuan yang mendalam. Ada yang mencapai gelar karena kumulatif administrasi (seperti jumlah publikasi) tanpa dampak nyata.

   Data: Studi di Malaysia menunjukkan 30% profesor hanya memenuhi syarat administratif tanpa kontribusi penelitian signifikan. ( Zainal, A. (2020). Academic Meritocracy in Malaysian Universities. Journal of Higher Education Policy)

2. Politik Akademik dan Korporatisasi Kampus

   Promosi jabatan akademik sering dipengaruhi jaringan, kedekatan dengan kekuasaan, atau kepentingan institusi, bukan murni meritokrasi keilmuan.

   Contoh: Di Indonesia, kasus “jurnal predator” marak, di mana profesor memublikasi di jurnal abal-abal demi kenaikan pangkat.[ (Kemenristekdikti. (2018). Laporan Jurnal Predator di Indonesia. Jakarta. )

3. Kasus Pelanggaran Etik

   Maraknya plagiarisme dan konflik kepentingan dalam penelitian.

   Data: Kemenristekdikti (2019) mencatat 12 kasus plagiarisme oleh profesor dalam 5 tahun terakhir.[^6] (Kemenristekdikti. (2019). Tindak Lanjut Pelanggaran Etik Akademik. Jakarta)

4. Jarak dengan Masyarakat

   Sebagian profesor terjebak dalam “menara gading” akademik—fokus pada teori tanpa aplikasi praktis atau solusi untuk masalah sosial.

C. Mengapa Ini Terjadi?

1. Sistem yang Kurang Baik

   Tuntutan birokrasi kampus (seperti akreditasi) lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas.

   Contoh: Aturan Kemenristekdikti yang mewajibkan publikasi tanpa mempertimbangkan dampak penelitian. (Permenristekdikti No. 20/2017 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Profesor)

2. Kurangnya Akuntabilitas

   Minimnya sanksi untuk pelanggaran etik atau profesor yang “mandek” secara keilmuan.

3. Tekanan Ekonomi

   Profesor terpacu mencari proyek atau jabatan untuk pendapatan tambahan, mengorbankan fokus akademik.

D. Bagaimana Memperbaikinya?

1. Reformasi Sistem Penilaian:

 Menilai profesor berdasarkan dampak penelitian, bukan sekadar jumlah publikasi.

 Memberikan ruang bagi riset jangka panjang yang mendalam.

2. Penguatan Etika dan Transparansi:

   Audit independen terhadap karya akademik profesor, termasuk pemeriksaan plagiarisme ketat.

Sanksi tegas bagi pelanggar (contoh: pencabutan gelar).

3. Hubungan dengan Masyarakat:

 Profesor didorong terlibat dalam edukasi publik, diskusi terbuka, atau riset aplikatif (misal: kebijakan, teknologi tepat guna).

Penutup

Gelar profesor seharusnya menjadi simbol keunggulan ilmu, bukan sekadar jabatan administratif. Untuk menutup jurang antara harapan dan kenyataan, diperlukan komitmen bersama dari institusi pendidikan, pemerintah, dan para profesor sendiri untuk mengembalikan marwah akademik sebagai pilar kemajuan bangsa.

“Ilmu tanpa integritas adalah pepesan kosong, dan gelar tanpa makna hanyalah huruf mati.”

Daftar Pustaka

1. Altbach, P. G., & De Wit, H. (2018). The Challenge of Academic Corruption. Springer.

2. Feynman, R. P. (1999). The Meaning of It All: Thoughts of a Citizen-Scientist. Basic Books.

3. Washburn, J. (2005). University, Inc.: The Corporate Corruption of Higher Education. Basic Books.

4. Fanelli, D. (2009). “How Many Scientists Fabricate and Falsify Research? A Systematic Review and Meta-Analysis of Survey Data”. PLoS ONE, 4(5), e5738.

5. Larivière, V., et al. (2013). “The Oligopoly of Academic Publishers in the Digital Era”. PLoS ONE*, 10(6), e0127502.

6. Ziman, J. (2002). “Real Science: What It Is, and What It Means”. Cambridge University Press.

7. Leonardo AI. (2025). Illustration: Antara Harapan dan Kenyataan: Kualitas Ilmu Seorang Profesor [AI-generated image]. https://app.leonardo.ai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *