Kerukunan dalam Masyarakat Plural Melalui Komunikasi Multikultural
Tulisan ini berawal dari kegabutan saya yang menjadi pengangguran yang sedang merefleksikan kondisi banyaknya konflik agama di masa lalu, khususnya di Indonesia, yang muncul “murni” dari perbedaan keyakinan dan/ agama. Hal ini penting menurut saya untuk ditulis, disela-sela saya kebingungan mencari pinjaman uang untuk membayar biaya registrasi, spp dan matrikulsi pascasarjana UIN KHAS Jember sebesar 8.300.000 yang akan berakhir besok hari Jumat tanggal 26 Agustus 2022, karena beberapa penelitian berpendapat bahwa faktor-faktor selain agama, seperti politik, ekonomi, dan kepentingan lain, “ikut serta/campur tangan” dalam bidang agama, sehingga menimbulkan konflik. Asumsi ini sangat penting karena negara kita memiliki tingkat keragaman yang tinggi dalam banyak hal. Sebagai akibat dari keragaman masyarakat suku, bahasa, budaya, bahkan kepercayaan, maka masyarakat tersebut biasa disebut sebagai masyarakat majemuk, sekaligus multikultural.
Harapan utamanya, tulisan ini dapat memberikan kontribusi akademis, minimal dalam tiga hal; (1) upaya menghadirkan ajaran agama, khususnya Islam, dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia; (2) mengurai konflik agama yang tampaknya semakin sulit diselesaikan; dan (3) menciptakan kehidupan yang harmonis di tengah dinamika masyarakat yang majemuk, baik dari segi suku maupun agama. Sedangkan konsep komunikasi antarbudaya sengaja digunakan untuk menelaah fakta dan menilainya untuk mengajukan jawaban. Mengapa kita harus mempromosikan komunikasi lintas budaya? Alasannya jelas, Komunikasi antarbudaya digunakan karena umat Islam dan umat beragama pada umumnya lebih mudah menerima kehidupan multikultural dalam beberapa dekade terakhir. Seperti di banyak negara mayoritas Muslim lainnya di seluruh dunia, realitas multikultural Indonesia berkembang seiring dengan semakin terbukanya arus pertukaran budaya, baik melalui media massa dan pertumbuhan penduduk, maupun imigrasi dan emigrasi.
Lebih jauh lagi, realitas multikultural telah mendukung tumbuhnya gerakan multikulturalisme yang tampaknya menyebar secara global. Gerakan ini berkembang dari sebuah filosofi yang tumbuh dan berkembang di banyak peradaban multikultural, terutama pemahaman akan perlunya hubungan yang lebih manusiawi antara individu-individu dari berbagai budaya dan bahkan kepercayaan, baik secara horizontal maupun vertikal. Hampir semua agama ingin menjangkau sebanyak mungkin orang dengan pesan mereka. Setiap pemeluk agama mengekspresikan agamanya dalam kehidupan individu yang membentuk fondasi komunitas sehari-harinya dalam setiap situasi dan lokasi. Kesulitannya kemudian adalah bagaimana masyarakat menanggapi upaya mereka, karena mereka mungkin tidak memiliki pendapat yang sama. Ini adalah titik awal bagi sebagian besar pertemuan sosial, yang berakhir dengan konflik.
Di kalangan umat Islam, misalnya, menghadirkan agama di tengah keragaman (multikultural) semacam itu terkadang dianggap sebagai tantangan. Meski Al-Qur’an sering mengingatkan pembacanya bahwa perbedaan sudah menjadi sebuah keniscayaan, namun tetap menjadi persoalan yang harus diantisipasi. Akibatnya, kecelakaan hampir selalu tidak dapat dihindari. Muslim memiliki sejarah panjang yang tinggal di banyak peradaban. Pesatnya kemunculan umat Islam di banyak bagian dunia selama tahap awal pendirian komunitas Muslim di Madinah, diikuti oleh periode setelah Khulafa al-Rasyidin, menunjukkan proses adaptasi yang lebih ketat dan pertempuran dengan kondisi lokal. Sebuah komunitas baru yang semakin multikultural telah muncul sebagai akibat dari konflik budaya antara Muslim dan masyarakat adat.
Dengan semangat memperluas wilayah dan memperkaya masyarakat, kenyataan ini tidak bisa diabaikan. Pengalaman umat Islam dalam menghadirkan Islam dalam masyarakat multikultural, baik sebagai mayoritas maupun sebagai minoritas, menjadi topik penting untuk diamati, khususnya dalam hal potensi konflik atau asimilasi. Banyak aspek kehidupan Muslim Indonesia dalam masyarakat yang beragam dapat dilihat. Keanekaragaman budaya Indonesia, dengan komposisi penduduk mayoritas Muslim, telah menginspirasi berbagai adaptasi, khususnya dalam kehidupan beragama, yang dilakukan oleh umat Islam serta para praktisi agama selain Islam.
Gagasan umat Islam yang hidup dalam masyarakat yang beragam, di sisi lain, terkait erat dengan proses Indonesia memperluas iman, yang biasanya ditandai dengan konflik dan bahkan pertumpahan darah. Konfrontasi antar pemeluk agama, seperti yang terlihat dalam beberapa dekade terakhir, menurut saya, berasal dari kurangnya pengetahuan dan antusiasme untuk dialog multikultural. Islam, sebagai agama rahmatan lil-‘lamn, tidak bisa diberikan dengan menonjolkan aspek lumpuh-nya dengan mengabaikan sisi rahmatan. Untuk hadir dalam ruang komunikasi yang lebih manusiawi, pemahaman Islam harus dikemas ulang dalam bentuk pesan-pesan yang lebih bersahabat yang diperhitungkan dengan memperhitungkan aspek kebhinekaan yang sudah menjadi keniscayaan dalam masyarakat, kemudian dikomunikasikan dengan bahasa yang lebih kontekstual, bilisni qaumihi, ” dan disajikan dalam menu yang sangat sederhana.
Konsep bilisni qaumih dan ‘al qadar ‘uqlihim antara lain merupakan cerminan komunikasi profetik yang mengakui dimensi multiplisitas untuk memenuhi cita-cita “rahmatan lil alamin” dengan tidak mengabaikan realitas keragaman dalam masyarakat. Ini berfungsi sebagai dasar untuk mengajarkan Islam kepada beragam orang. Dengan kata lain, sebagaimana ditunjukkan oleh dua ucapan ini, Nabi sendiri mempertimbangkan konteks pluralitas (keragaman) untuk menjelaskan konsepsi teologis. Dalam masyarakat yang lebih beragam saat ini, bagaimana gerakan itu menggambarkan Islam? Islam saat ini signifikan dan/atau terlihat dalam kehidupan masyarakat, yang semakin hari semakin multikultural. Alhasil, konsep pendidikan yang berasal dari kompleksitas bahasa dan budaya Arab dapat diberikan dalam kemasan budaya lokal yang mudah terhubung dengan rasa bahasa dan budaya masyarakat sasaran. Misalnya, pesan wahyu yang menyatakan tidak ada paksaan dalam Islam di antaranya, dapat dimaknai dalam rumusan ajaran bahwa tidak boleh melakukan pemaksaan kultural dan kontekstual dalam menampilkan Islam dalam perbedaan, untuk melestarikan substansinya mengajak Islam, khususnya bagi umat Islam. Akibatnya, umat Islam tidak punya alasan untuk menentang penggunaan kekerasan untuk menegakkan cita-cita Islam selama dilakukan secara multikultural.
Namun, apakah inti Islam yang dipandang banyak orang memiliki nilai-nilai universal harus disamakan dengan cara yang sama? Apakah, misalnya, undangan untuk ikut memeriahkan bulan ramadhan harus disampaikan dalam rumusan pesan yang sama, meskipun tawaran itu ditawarkan kepada sekelompok orang yang berbeda, baik secara agama maupun budaya? Di sinilah konsep toleransi dapat membantu menjembatani perbedaan dan membangun kehidupan yang damai dan harmonis tanpa merasa bersalah mengorbankan isi perintah Allah atau sunnah para nabi-Nya. Jika, seperti dikatakan sebelumnya, perselisihan agama (dengan kompleksitas) dibangun di atas perbedaan pandangan atau agama, maka diperlukan pendekatan kreatif untuk mengomunikasikan perbedaan tersebut. Apapun kasusnya, Menemukan kesamaan (bukan perbedaan) tidak selalu menunjukkan bahwa Anda adalah pilihan terbaik untuk penyelesaian perselisihan. Banyak argumentasi yang dilakukan untuk mencari kesamaan dalam perbedaan agama, namun kesimpulannya jarang memberikan solusi.
Dalam hal komunikasi antarbudaya, proses kreatif dimaksudkan untuk membuka jalan menyatukan keragaman dengan tetap menjaga keutuhan identitas seseorang. Perbedaan yang telah menjadi kebutuhan dalam masyarakat kita saat ini dapat menciptakan kesenjangan yang tidak efektif, memicu kecurigaan yang tidak beralasan, atau mengaktifkan sikap apriori karena mempertahankan “kebenaran” yang mereka klaim sebagai identitas mereka dan membatasi potensi memasuki identitas orang lain. Pendekatan komunikasi multikultural hanyalah salah satu dari beberapa pilihan untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Banyak penelitian telah dilakukan untuk lebih memahami konsep dan praktik komunikasi antarbudaya, terutama pentingnya membangun hubungan yang efektif dan berfungsi. buku Komunikasi efektif : suatu pendekatan lintas budaya yang ditulis oleh Deddy Mulyana adalah salah satu Buku yang mengkaji komunikasi dalam konteks perbedaan, yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat melemahkan atau bahkan menghambat kemanjuran komunikasi. Kesalahpahaman, kekeliruan, atau salah tafsir adalah contoh kegagalan yang sering menimbulkan kecurigaan, ketegangan, dan, pada akhirnya, konflik di antara komunikator.
Penelitian Daddy didukung oleh beberapa landasan teoretis, termasuk gagasan bahwa, dalam hal komunikasi antarbudaya, perbedaan agama, bahasa, etnis, dan bahkan gender dapat dianggap multikultural atau lintas budaya. Akibatnya, komunikasi antarbudaya berfokus pada bagaimana budaya mempengaruhi kegiatan komunikasi, seperti apa arti komunikasi verbal dan nonverbal dalam budaya yang berbeda, apa yang pantas untuk dikatakan, bagaimana dan kapan harus disampaikan, dan sebagainya. Pertimbangkan skenario minoritas Muslim Prancis yang berhijab untuk menggambarkan disparitas antar aktor komunikasi. French-Muslim and the Hijab: An Analysis of Identity and the Islamic Veil in France karya Stephen M. Croucher mengungkapkan fenomena perlawanan minoritas Muslim yang melalui identitas mereka, menolak kebijakan pemerintah Prancis yang melarang penggunaan hijab. Menurut temuan penelitian ini, minoritas Muslim (perempuan) di Prancis telah memilih jilbab sebagai identitas fundamental yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Mereka percaya diri dengan identitas mereka sambil memberikan tekanan psikologis pada populasi mayoritas, yang dilindungi oleh batasan resmi.
Contoh studi sebelumnya tentang kontak Muslim-pemerintah di Prancis memberikan gambaran penting tentang tantangan dalam membangun jembatan komunikasi antara dua kekuatan, komunitas Muslim, dan pemerintah. Semakin jelas disparitas yang menjadi prinsip penggerak masing-masing pihak, semakin menutup penghalang perdebatan yang dapat mengurangi ketegangan, menjadikan konfrontasi sebagai pilihan yang tak terhindarkan. Kebijakan yang tidak memperhitungkan komponen multikultural ini dapat menyebabkan perselisihan dan membatasi peluang dialog dua arah. Beberapa tanggapan polling menunjukkan bahwa mentalitas fundamental responden menguat. Mereka beralasan, penting untuk tidak hanya merawat tubuh agar tidak rentan terhadap gangguan alam, seperti yang diungkapkan oleh banyak reaksi peserta penelitian, tetapi juga untuk mengekspresikan individualitasnya. Menurut penelitian Croucher, sikap tegas ini dapat menyebabkan gesekan dan bahkan diskusi yang lebih panas, yang bagaimanapun juga dapat diselesaikan secara damai.
Jilbab akhirnya dipandang oleh otoritas Prancis sebagai simbol penentangan komunitas Muslim terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Komunikasi dasar menjadi tidak mungkin, yang mengakibatkan ketegangan negatif, alih-alih menyetujui pembicaraan yang bermanfaat antara penduduk Muslim dan pemerintah sekuler Prancis. Kenyataannya, sebelum pembatasan, banyak responden, wanita Muslim Prancis, menyatakan keinginan untuk menjadi warga negara yang terhormat, Muslim saat ini yang taat di satu sisi dan warga negara Prancis modern di sisi lain. Insiden lain terjadi di Bekasi, Indonesia. Penelitian Adon Nasrullah pada tahun 2013 menemukan dua fenomena yang berbeda: konflik dan integrasi, khususnya dalam pembangunan rumah ibadah. Integrasi yang kuat telah terbentuk untuk mendukung kehidupan yang harmonis antar pemeluk agama yang berbeda di Kampung Sawah, Kota Bekasi, yang dapat digolongkan sebagai dusun pedesaan. Konflik tetap ada di Bekasi, terutama di bisnis Ticketing perkotaan. Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang seringkali homogen dan memiliki tingkat kepekaan agama yang tinggi, masyarakat perkotaan yang biasanya heterogen dan kurang peka terhadap agama, sangat toleran terhadap variasi untuk menghindari konfrontasi.
Perekat sosial yang muncul dari proses pengkonstruksian keluarga multikultural yang dikembangkan dalam jangka waktu yang lama melalui perkawinan persilangan antar pemeluk agama yang berbeda, menghasilkan kehidupan yang harmonis dan integrasi masyarakat di Kampung Sawah, menurut temuan penelitian tersebut. Sementara itu, heterogenitas sosial yang ada di Ticketing telah meningkatkan kesadaran identitas agama, menciptakan perpecahan baru. Akibatnya, perbedaan ini menjadi perdebatan. Perbedaan seseorang atau sekelompok orang menghambat efektivitas komunikasi, yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan kesenjangan, ketegangan, bahkan konflik; sedangkan kesamaan yang dimiliki individu atau kelompok yang dibangun dengan cara apapun memperkuat kohesivitas sosial sekaligus memperkuat efektivitas komunikasi.
Untuk hidup dalam masyarakat multikultural tanpa merusak agama atau nilai-nilai sosial, toleransi sangat penting. Cara ini dapat membawa kedamaian dan ketenangan. Eksklusivisme agama berdasarkan kebenaran hakiki tanpa mempertimbangkan kebenaran pihak lain hanya dapat menimbulkan perselisihan, stres, dan konflik, bahkan dapat mendorong sikap saling tidak percaya yang semakin tidak produktif, yang jika tidak dikendalikan secara efektif, dapat merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan multikultural. . kerukunan dan kedamaian Komunikasi multikultural akan membantu setiap orang yang senantiasa berinteraksi untuk memiliki kepribadian yang terbuka, memungkinkan mereka untuk berperilaku dan berperilaku dengan tetap menjaga perbedaan berdasarkan prinsip-prinsip yang melekat dalam kehidupan masing-masing. Setiap aktor komunikasi dapat mempengaruhi toleransinya terhadap keragaman tanpa mempengaruhi kepercayaan, ajaran, atau budaya yang dianut oleh setiap aktor dalam proses komunikasi.
Dialog antaragama dan tukar pikiran antara pribadi dan budaya lebih sehat dan bermanfaat dalam mendobrak hambatan pluralisme, sehingga memungkinkan masing-masing pihak membuka pintu toleransi lebih luas. Semangat kosmopolitan yang melekat dalam perluasan dialog antaragama pada gilirannya akan mengubah pengetahuan kolektif masing-masing pihak, memungkinkan mereka untuk menoleransi perbedaan dengan anggun. Kapasitas untuk membangun jaringan komunikasi tersebut terkait dengan kemampuan untuk menangani perbedaan yang mungkin timbul pada tingkat pluralitas tertentu. Gudykunst menekankan pentingnya kapasitas orang untuk menangani konflik, menyiratkan bahwa ketidaksepakatan tidak selalu memiliki pengaruh negatif pada percakapan antarbudaya. Dia percaya bahwa konflik dapat menjadi positif dan negatif dalam konteks hubungan manusia. Oleh karena itu, ia percaya bahwa sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung selama proses pertunangan, baik dengan orang-orang yang dianggap asing (asing) atau dengan orang-orang yang dianggap sama dan saling mengenal.
Salah satu strategi untuk melestarikan pola pikir ini adalah dengan memprioritaskan komunikasi deskriptif di atas evaluasi. Orang yang “asing”, atau dianggap asing, tidak dapat berpartisipasi dalam diskusi yang mengarah pada penilaian sebelum mereka memahami sudut pandang satu sama lain. Orang akan menjadi defensif jika Anda menggunakan strategi evaluasi. Sebuah gaya komunikasi deskriptif, di sisi lain, dapat membuat lebih mudah bagi orang-orang dari budaya yang beragam untuk mengungkap paralel yang menjangkau kemanjuran komunikasi dan bantuan dalam menilai skenario lingkungan saat ini. Akibatnya, upaya studi untuk mengidentifikasi komponen-komponen umum dalam kehidupan yang dibedakan oleh perbedaan pandangan atau keyakinan, seperti yang telah dilakukan dalam banyak diskusi kerukunan di Indonesia selama ini, tidak akan memberikan hasil yang menguntungkan. Hubungan harmonis yang dihasilkan dari kejadian seperti itu tidak lebih dari harmoni palsu.
Empati yang ditunjukkan oleh satu atau lebih orang yang berpartisipasi dalam proses komunikasi adalah fitur lain yang dapat membantu pembentukan suasana yang mendukung. Pemahaman empati ini juga akan mendorong semua pihak yang terlibat untuk berkomunikasi secara adil. Dalam kurangnya pemahaman simpatik, pertemuan antara minoritas dan mayoritas tidak akan menghasilkan posisi yang setara; sebaliknya, mereka akan meningkatkan kekuatan identitas masing-masing. Mungkin itu klise. di sisi lain, adalah gambaran yang dapat dianalisis melalui lensa komunikasi antarbudaya. Untuk menjaga perdamaian dalam budaya yang beragam seperti Indonesia, pemahaman dan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan dan mengelola komunikasi dalam ruang hidup multikultural harus dipupuk sejak usia muda, bahkan pada anak-anak, dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan lingkungan. pendidikan. Jika memungkinkan, nilai-nilai multikultural ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan komunikasi yang salah satunya dilakukan dalam ruang pendidikan formal dengan memasukkannya ke dalam hiden-kurikulum sekolah daripada membebankan pada penambahan mata pelajaran tersendiri.
Perlunya pemahaman antarbudaya seperti itu berasal dari fakta bahwa, seperti yang dikatakan Gudykunst, efektivitas komunikasi multikultural membutuhkan “semacam” kapasitas komunikasi yang dapat dicapai oleh semua pihak yang terlibat. Kemampuan komunikasi ini akan mengurangi kesalahpahaman sebagai salah satu tuntutan untuk mempertahankan kemanjuran komunikasi, khususnya di antara para pelaku komunikasi multikultural yang menganut beragam agama dalam lingkup komunikasi multikultural ini, tambah Gudykunst. Semangat seorang komunikator untuk menjaga keharmonisan hidup, selain pengetahuan, menumbuhkan upaya untuk menjaga keharmonisan hidup. Menurut temuan salah satu penelitian, terdapat sedikit konflik di antara kelompok yang memiliki keinginan kuat untuk berinteraksi, terutama dengan orang asing. Kebutuhan untuk berkomunikasi ini bukanlah ciri kepribadian yang unik. Gudykunst menegaskan, selain kemauan, komponen pendukung lainnya, seperti keinginan kuat, pengetahuan, dan kemampuan yang sesuai dengan kondisi unik mitra komunikasi, masih penting untuk acara komunikasi antarbudaya.
Ada salah satu penelitian yang saya baca menggambarkan situasi di mana orang-orang dari budaya yang berbeda, yaitu Amerika dan Cina, bersentuhan. Penelitian dilakukan dalam suasana percakapan di mana keduanya sama-sama terlibat. Yang pertama dari pertemuan antara orang Amerika dan Cina ini terjadi di Amerika Serikat, sedangkan yang kedua terjadi di Cina. Menurut penelitian tersebut yang pada intinya dalam tulian tersebut mengiharapkan masyarakat harus lebih komunikatif, yaitu masyarakat transformatif yang tertarik pada perubahan sosial, dengan tujuan utama mengembangkan model kehidupan yang lebih adil, hal ini dapat diwujudkan melalui kompetensi komunikasi yang diperoleh melalui proses pembelajaran sosial tersebut, dan terutama dengan tumbuhnya penghargaan dan toleransi di antara orang-orang yang beragam. Dengan demikian, komunikasi antarbudaya akan membebaskan orang dari kendala penalaran yang salah sekaligus membangun tatanan sosial yang lebih adil yang memungkinkan mereka membangun saling pengertian dalam semua aktivitas sosial mereka. Metode ini akan memungkinkan kelahiran kembali kehidupan melalui pengenalan dunia makna bersama.
Oleh: Jufriyanto