CerpenRubrik

Welcome to Camp-us

Oleh: Zain D. E. (Warga ’17)

 

Hembusan angin pagi memberikan kedinginan bagi jiwa-jiwa yang tenang. Daun-daun hijau bergoyang terkena angin seakan senang dan gembira menyambut datangnya pagi. Kesana kemari, dari ranting satu kesatunya, seekor burung memberikan ke elokan tersendiri tuk mengatakan “Selamat Pagi” buat semua insan. Sang surya tersenyum malu di balik awan menyinari alam nusantara. Indahnya alam negeri ibu pertiwi, tak semua orang mengetahui akan hal ini.

Sebelum aku melangkahkan kaki ke tanah di kota pelajar, dari dulu sampai sekarang masih melekat di benakku akan ucapan orang tua kepadaku, “Belajarlah nak, dengan niat ingin belajar dan menuntut ilmu”. Ucapan ini persis dengan ucapan aktifis sejati sepanjang hayat baginda rasul “Utlubul ilmi minal Mahdi ilal lahdi”. So, mulai detik ini, akan ku tata niat untuk belajar mengarungi samudera ilmu. Dan dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, aku bukan lagi anak SMA, melainkan mahasiswa yang harus membuang jauh-jauh pola pikir SMA-ku, manja, minta diperhatiin dan sebagainya. Disini saya punya tanggung jawab bagi diriku, sosial dan yang terpenting orang tuaku sendiri, bagaimana saya harus menjadi pribadi yang bisa membanggakan orang tua.

Diawal sebelum perkuliahan jauh aktif, terbesit dibenakku untuk ikut organisasi, selain hannya K3 (kuliah, kos dan kantin), aku sempat berikhtiar tuk ikut organisasi intra. Hal itu menjadi ruang tersendiri bagiku tuk mengembangkan keilmuanku. Setelah diterima dan berproses, ternyata aku mendapatkan lebih, tak seperti yang aku pikirkan sebelumnya. Aku mendapati ilmu yang tidak ku dapati di bangku kuliah. Disinilah kegiatanku tuk mengisi waktu kosong, bukan sekedar waktu kosong, tapi ini adalah jalan tuk menggapai gemerlap bintang di masa yang akan datang. Walau kadang, aku merasa lelah, capek dan bosan. Semua itu harus aku cuekan demi indahnya hidup di masa depan nanti. Kalau kata temenku “barang siapa yang tidak merasakan pahitnya mencari ilmu, maka nikmatilah pahitnya kebodohan”.

“Saatnya kuliah” teriakku lantang di kamar kos setelah semua sudah siap.

Ku langkahkan kakiku menuju ke kampus, kampus hijau katanya. Tak terpikir sebelumnya, ternyata kampus kayak rumah sendiri, tempat berteduh kaum intelektual, tempat diskusi tanpa mengenal waktu. Namun itu dulu, cerita itu aku dapatkan dari para senior, kakak angkatan. Masih terbayang di memori akan cerita yang ku dengar dari senior yang masih berdomisili di lingkungan kampus.

“Hari ini, aku harus bergerak cepat. 07.30 harus sudah nyampek di kelas. Dosennya tidak kenal kompromi atau killer, hehe”

Memang banyak mahasiswa tidak suka sama dosen killer karena peraturannya yang sangat tidak suitable sama mahasiswa. Tapi sesungguhnya, tanpa kita sadari beliau mengajarkan kita untuk menjadi orang yang disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu. Nantinya, kita akan merasakan betapa berpengaruhnya para beliau-beliau bagi mahasiswa.

“Ternyata bosan juga yaaa, belajar lama di kelas” ucapku pada temen di sebelahku.

Jarum jam menunjuk 09.30 aku keluar bareng dengan temanku. Tak terasa satu mata kuliah telah rampung, bersegera aku ke perpus tuk meminjam buku persiapan untuk diskusi nanti malem. Ruang dialektika tidak hannya di kelas saja, saat kita tidak terima dengan argumen teman kita, dimanapun sesungguhnya bisa. Sering sekali, aku beradu argumen dengan teman saya tentang keilmuan. Secara tidak sadar, ada maupun tiada banyak teman-teman berada dalam kelas saat pelajaran dimulia berangkat dari ruang yang kosong, artinya hannya duduk manis menjadi pendengar aktif, tidak peduli apakah argumen teman kita benar atau salah. Mereka hannya menerima dan bermakmum pada teman yang berargumen. Padahal, alangkah lebih amazingnya kelas saat diisi dengan suara-suara yang melahirkan bahan pertimbangan dengan cara berdialektika dari berbagai referensi.

Saat perjalanan menuju perpus aku ngerasa ada yang membuntuti ku dari belakang

“Hallo riz…” panggilan simpel untuk sebutan namaku, Rizki. Spontan aku menoleh ke belakang dan yang memanggilku adalah teman karibku, Isol.

“What`s up” jawabku ke dia dengan pake bahasa inggris karena kita pernah kursus bahasa inggris di tempat yang sama.

“Endak, ini aku mau nitip surat izin ke kamu. Klu nanti aku nggak bisa mengikuti perkuliahan, soalnya mau jemput adekku di stasiun” sambil memberikan surat izinnya kepadaku dan berlalu meniggalkanku.

Isol memang kayak saudaraku sendiri. Dia yang slalu mengingatkanku sewaktu aku capek, bosan tuk belajar. Selain itu, dia juga memotivasi saya agar bersemangat dalam mencari ilmu karena orang tua disana sudah susah payah mencari uang untuk biaya kuliah.

Ku mulai memilih buku di perpus, tanganku menari di sepanjang jajaran buku yang sudah berjejer rapi di lemari. Aku dapati buku “Aku berpikir, maka aku ada”, dari tokoh barat Rene Discartes, yang esensinya perlu di olah dalam diri pribadiku, aku tau bahwa aku mahasiswa tapi tidak semudah ini menjadi mahasiswa yang hanya mengharapkan gelar S1. Di balik itu tersimpan tanggung jawab yang perlu aku kerjakan terhadap lingkungan sosial dan khusunya diriku sendiri.

Panas terik matahari terasa menyengat kulitku setelah keluar dari gedung perpus. Polusi udara yang terkontaminasi oleh asap sepeda motor tak sedap lagi untuk dihirup. Tak terasa hembusan angin pada saat itu karena terkalahkan oleh panasnya sang surya di siang hari. Aku lanjutkan perjalananku menuju kos. Pengen sekali mengistirahatkan badan ini yang sudah terasa capek sekali. Di tengah perjalanan aku bertemu subhan, temenkku. Dia sepertinya lagi memikirkan sesuatu. Wajahnya tampak keliatan sedih.

“Kenapa kamu keliatan murung, Subhan?” tanyaku pada Subhan.

“EEE….endak ko` kak. Ku nggak napa-napa” jawab Subhan kaget sambil menoleh sontak kepadaku.

“Ehmm…semoga kamu tetap berada dalam lindungan-Nya dan kalau memang ada yang pengen kamu ceritain, nggak pa-apa kamu bisa langsung cerita aja” ibahku melihat sesosok teman yang sepertinya butuh bantuan.

“Iya kak, makasih. Aku cuman lagi sedih aja untuk saat ini. Tapi mohon maaf kak, aku nggak bisa cerita sekarang. Kapan-kapan aja tak ceritain semua tentang kesedihanku” balasnya dengan senyuman dan sedikit kejelasan yang tampak dari raut wajahnya itu.

“Ya sudah, aku ke kos dulu. Kamu baik-baik yah”, aku pamit ke kos dan ikut sedih walau ndak ada kejelasan secara detail tentang kesedihannya.

Akhirnya, sampai juga di kos. Tak sabar rasanya ingin membaringkan badan ini tuk menghilangkan rasa capek. Alhamdulillah, selalu ku panjatkan syukur pada sang pencipta karena masih menganugrahkan nikmat sehat dan sempat. Sehat dalam mecari ilmu Allah dan sempat masih dikasih umur panjang untuk mengarungi luasnya ilmu Allah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *